Rabu, Juli 3, 2024

MIWF 2024 Keseruan Bersama Teman Bus, Berbagi Nostalgia, Bernyanyi, Menikmati Makassar

KATADIA, MAKASSAR  || Saya buru-buru keluar dari Gedung E-1 Fort Rotterdam, tempat diskusi publik “Maju Ko Gondrong: Suara dari Jalanan Makassar” diadakan. Meski dipapar panas matahari, langkah kaki saya ringan, begitu peserta diskusi mengenai isu mobilitas dipersilakan menuju ke halte di depan POPSA, tempat Teman Bus menunggu.

Rasa-rasanya saya tak sabar berada dalam bus Transmamminasata itu, sembari berbagi nostalgia tentang angkutan umum di Makassar. Maklum, perjalanan dengan Teman Bus ini, bukan sekadar perjalanan biasa. Namun berkaitan dengan peluncuran buku “Kiri Depan, Daeng”.

Perjalanan semakin istimewa karena ini kali pertama saya naik Teman Bus. Makanya, saya ajak istri saya, Gita Nurul Ramadhani, menikmati Teman Bus sambil berkeliling Kota Daeng. Apalagi event ini merupakan bagian dari Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024, yang kali ini mengusung tema m/othering. Sebagai pecinta buku, tentu saja kami tak melewatkan event tahunan yang digelar Rumata’ ArtSpace ini.

Sejak awal kami sudah disampaikan oleh Luna Vidya bahwa konsep peluncuran bukunya agak laen. Katanya, perayaan launching buku dilakukan dengan mendengar cerita dan gagasan yang disampaikan kontributor, sambil naik Teman Bus.

Akan ada 3 Teman Bus yang disediakan. Kapasitas tempat duduknya terbatas. Karena itu, perlu registrasi. Rutenya, mulai dari Fort Rotterdam-Mal Panakkukang (MP), mengikuti koridor MP-Galesong.

Menariknya lagi, di setiap bus akan ada penyanyi. Jadi mirip seperti angkutan Damri era jadul yang ada pengamennya. “Pengamennya” pun bukan kaleng-kaleng. Ada Sese Lawing, Yuka Tamada, dan Elmatu.

“Siapa mereka, cari saja di YouTube ya.” Tulis Luna Vidya di WAG Mobilitas Berkelanjutan.

Begitu berada di luar halaman Fort Rotterdam, sudah ada panitia yang mengarahkan kami ke Teman Bus. Ini kali pertama saya dan istri menempelkan kartu e-money yang tadi dibagikan oleh panitia pada alat pemindai dari moda transportasi milik BUMN tersebut.

Saya perhatikan, beberapa orang salah menempelkan kartunya. Ada yang malah terbalik menempelkan kartu itu. Beruntung driver-nya tanggap. Driver memberitahu agar kartu ditempelkan pada bagian atas hingga lampunya berubah warna hijau lalu muncul tanda centang.

Ketika sudah berada di dalam Teman Bus, mata saya mencari-cari wajah teman yang ikut sebagai kontributor. Rupanya, tak ada yang saya kenali, selain istri saya hehehe. Teman Bus berjalan meninggalkan halte, berbelok ke Jalan Riburane. Saya melihat ke relawan fotografer, lalu ke relawan MIWF yang satunya lagi.

“Mestinya, ada yang satu orang di sini yang memandu,” kata fotografer itu.

Ternyata dia menangkap apa yang ingin saya sampaikan. Lalu, saya dengan pede bertanya ke seluruh penumpang, apakah ada di antara mereka yang merupakan kontributor? Kompak mereka menggeleng. Artinya, mereka rerata penumpang yang mendaftar untuk ikut sebagai peserta Riding With Stories.

Teman Bus terus berjalan. Saya lalu memberi isyarat ke fotografer untuk akan bercerita. Namun, terlebih dahulu saya memberi salam dan memperkenalkan diri. Saya berani mengambil inisiatif karena sebelum kegiatan hari itu (Sabtu, 25 Mei 2024) saya dijapri Luna Vidya.

“Pada hari Sabtu 25 Mei nanti, setelah launching buku, bersediakah ikut kegiatan diskusi, setelah itu launching buku yang ada kontribusi ta ‘Kiri Depan, Daeng!’ Jam 16.15 mulai naik bisnya. Bersediakah Bung, ikut membaca dalam perjalanan dengan bus?” Tanya usi Luna.

“Iye bersedia ikut berbagi cerita, salah satu tulisan yang ada di buku,” jawab saya.

Itu sebagian isi percakapan kami. Saya memang menyumbang 4 tulisan dalam buku yang menghimpun arsip pengetahuan mobilitas warga Kota Makassar tersebut. Tulisan itu berkisah terkait demonstrasi anti-helm, becak, Damri, dan pengalaman berlangganan pete-pete kampus Unhas.

Namun, sebelum memulai cerita, saya iseng-iseng bertanya kepada mereka, apakah sebelumnya pernah naik Teman Bus? Rupanya, kami semua baru pertama kali menikmati kenyamanan naik Teman Bus. Ada 12 orang peserta Riding With Stories, ditambah penumpang umum.

Saya memberi spoiler tulisan saya dalam buku “Kiri Depan, Daeng”. Ada empat tulisan saya, masing-masing tentang helm, becak, Damri, dan pete-pete. Saya sampaikan, Teman Bus ini jauh lebih nyaman dibanding Damri era jadul. Dahulu, pintu Damri terdapat di depan dan belakang.

Saya bercerita, kalau naik Damri, saya suka duduk di belakang karena bisa langsung turun. Namun, sebelum turun, tiang pemegangnya diketuk dengan uang logam. Makanya tiang-tiang yang biasa dipakai sebagai pegangan, penuh dengan tanda goresan uang logam. Pengamennya juga biasa duduk di belakang.

Setelah lama bercerita, saya persilakan Elmatu bernyanyi. Dengan agak sotta, saya perkenalkan Elmatu. Bahwa dia merupakan alumni X Factor Indonesia, musim pertama, tahun 2013. Dia seangkatan dengan Fatin Shidqia. Elmatu, yang punya nama lengkap Ariel Matulessy, tergabung dalam grup Nu Dimension. Prestasinya pada ajang ini, bersama Nu Dimension, sebagai pemenang ketiga.

Layaknya sedang ngamen di bus, Elmatu memetik gitarnya sambil bersandar di pintu yang berada di tengah. Lagu-lagu dari Slank, Iwan Fals, Utha Likumahua, dibawakan dengan sangat merdu. Sesekali kami ikut bernyanyi, dan bertepuk tangan di akhir lagu. Dia juga membawakan lagu daerah Ambon, yang membawa kenangan saya pada kota kelahiran saya itu.

Dari balik jendela Teman Bus, ada suasana berbeda yang saya rasakan. Makassar terlihat rimbun, hijau. Mungkin karena rute yang dilewati bukan jalur yang biasa kami lalui.

Keseruan masih berlanjut di dalam Teman Bus. Saya bercerita pengalaman berlangganan pete-pete angkutan kampus Unhas. Saya dimintai tolong mencari mahasiswa yang mau berlangganan pete-pete oleh seorang sopir yang biasa kami sapa Pak Aji.

Teman-teman tentu saja senang. Artinya mereka tak harus berlama-lama menunggu pete-pete di pinggir. Bahkan diantar-jemput sampai depan rumahnya. Ketika saya sampaikan bahwa selama 3 tahun saya dapat tumpangan gratis, dengan spontan mereka bertepuk tangan.

Mendengar cerita saya, ada yang bertanya, berapa ongkos pete-pete kala itu. Saya bilang, masih Rp200. Lalu ada yang bertanya lagi, apakah pernah tarif pete-pete dinaikkan? Saya jawab, pernah. Naik dari Rp200 menjadi Rp250, yang mengakibatkan munculnya aksi protes dan demonstrasi. Peristiwa Amarah (April Makassar Berdarah) berawal dari aksi menolak kenaikan ongkos pete-pete tersebut.

Yang lain kemudian bertanya, mana yang lebih murah, ongkos Damri atau pete-pete saat itu. Saya tak langsung menjawab, tapi saya bercerita, saat Damri masuk kampus Unhas, terjadi aksi demo oleh sopir pete-pete kampus. Sebagian mahasiswa lebih memilih berlangganan Damri karena kalau beli kupon sebulan, mereka mendapat potongan. Tentu saja itu lebih hemat dan menguntungkan.

Begitu tiba di MP, kami turun dari Teman Bus semula, lalu naik Teman Bus lainnya, rute MP-Barombong. Di dalam bus sudah ada penumpang umum, terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak mereka.

Salah satu dari ibu itu menyampaikan bahwa masih ada bus berikutnya. Itu setelah dia melihat ada rombongan kami, peserta Riding With Stories, yang tidak kebagian tempat duduk. Saya, lagi-lagi sotta, menyampaikan program MIWF yang unik ini tapi dengan gaya bercanda. Saya sampaikan, kami ini fans, yang tidak mau berpisah dengan penyanyi andalan: Elmatu.

Ibu itu menyela, bahwa Elmatu mirip Glenn Fredly. Kami semua tertawa. Elmatu pun membawakan lagu-lagu dari penyanyi, pencipta lagu, dan produser yang mengusung irama jazz, funk, pop, dan soul itu. Dia juga membawakan lagu hits dari Mahalini dan Raim Laode.

Teman Bus berubah jadi semacam arena konser, setelah Elmatu mempersilakan mereka me-request lagu yang akan dinyanyikan. Tersebutlah nama grup asal Yogyakarta, Sheila On 7. Maka beramai-ramai kami bernyanyi sepanjang perjalanan. Seorang ibu terlihat video call menyampaikan keseruannya di dalam Teman Bus. Ibu satunya lagi nyelutuk, kalau begini serunya, biar bolak-balik MP-Barombong dia mau hehehe.

Matahari kian condong ke Barat. Teman Bus terus berjalan dengan penumpang yang penuh riang gembira. Menjelang malam, lalu lintas Makassar kian ramai. Di beberapa titik, terasa kendaraan padat merayap.

Kami, peserta Riding With Stories, turun di Jalan Metro Tanjung Bunga, untuk nyambung dengan Teman Bus lain kembali ke Fort Rotterdam. Melewati rute Pantai Losari, saya jadi teringat penghujung tahun 80-an, kami naik Damri le Sentral, hanya untuk jalan-jalan, melihat-lihat Kota Makassar. Kota yang kini sudah jauh berubah tapi cinta kami sama sekali tidak berubah pada kota ini.

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles

Sorry Bro