Jumat, April 19, 2024

Membangun Personal Branding melaui Media Sosial

Sukardi Weda

Guru Besar Universitas Negeri Makassar

Pilkada serentak 2024 tidak lama lagi akan digelar. Baliho para calon gubernur pun bertebaran di sejumlah titik dan sudut kota yang mudah dilihat. Ada yang memasang fotonya dengan gaya bak seorang aktor terkenal. Ada juga yang memasang baliho dengan foto yang tentu sudah dipermak.  Beragam cara dan pose dilakukan untuk memperlihatkan penampilan yang menarik di berbagai aksesoris kampanye atau APK (Alat Peraga Kampanye), karena dalam pemilihan langsung, dengan proporsional terbuka, maka permainan citra menjadi penentu. Oleh karena itu, para pencari kekuasaan berupaya memoles diri dengan berbagai personal branding, sehingga kelihatan memesona.

Pencitraan diri dengan berbagai gaya melalui beragam aksesoris kampanye tersebut dilakukan oleh bakal calon gubernur untuk mensosialisasikan dirinya ke publik, dengan harapan popularitasnya tentu saja elektabilitasnya semakin baik. Tampaknya urusan pencitraan diri melalui penampilan dan rias wajah, supaya semakin cantik – tampan memesona, bukan hanya digandrungi oleh kaum muda saja, tetapi juga para pencari kekuasaan, para calon gubernur dan para calon bupati dan walikota.

Rupanya urusan tampangisme atau wajahisme (lookism/faceism) kini mulai menjadi persoalan serius dalam perburuan kecantikan dan untuk selalu tampil menjadi yang tercantik (tertampan) tidak hanya di pentas dunia fashion, tapi juga dalam kehidupan sehari – hari (David Chenery, 1996), seperti pada sosialisasi dan kampanye politik.

Salah seorang psikolog terkemuka berkebangsaan Amerika, bernama Nancy Etcoff mengatakan dalam bukunya berjudul “Survival of the Prettiest: The Science of Beauty”  menyebut gejala tersebut dengan “lookism,” yaitu teori yang mengganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda, maka akan lebih sukseslah Anda dalam kehidupan (David Cheney, 1996). Dalam abad citra ini, semua perilaku dan tutur kata seseorang, selain penampilan wajah, kulit, tampan, dan pakaian menjadi penilaian utama. Bahkan kebiasaan senyum, misalnya, tidak lagi bisa dianggap sepele karena ia akan menjadi modal simbolik dalam pergaulan sosial sehari – hari, baik itu di dunia kerja, bisnis (David Cheney, 1996), dan lebih – lebih di dunia politik.

Maka jangan heran ketika, tiba – tiba tetangga Anda, kolega Anda, teman sejawat Anda, keluarga Anda, bahkan orang yang tidak kita kenal, atau orang asing tiba – tiba banyak mengumbar senyum ketika bertemu dengan Anda. Rupanya mereka adalah para bakal calon kepala daerah. John Hartley seperti dikutip oleh David Cheney (1996) dalam buku The Politics of Pictures: The Creation of the Public in the Age of Popular Media, menyatakan bahwa senyuman (smiling) telah menjadi salah satu kebajikan yang paling umum dari zaman kita, dan senyuman kini menjadi “ideologi dominan” dalam ranah publik.

Ia ibarat pakaian seragam yang harus dipakai di bibir seseorang yang berfungsi sosial untuk menciptakan, memelihara, mendidik, merepresentasikan, dan membangun citra di depan publik. Maka sangat disayangkan ketika ada tokoh yang melirik jabatan publik, semisal gubernur dan bupati atau walikota, lalu enggan senyum kepada orang – orang yang ada di sekelilingnya, bahkan yang dominan adalah sifat arogansinya, memandang orang di sekelilingnya tidak ada apa – apanya.

Untuk menduduki jabatan penting sebagai kepala daerah (gubernur, walikota atau bupati) memerlukan sumber daya dan energi besar, untuk itu para calon memerlukan strategi dan cara untuk meraih kekuasaan itu. Para pemimpi kuasa juga berlomba untuk mencari strategi jitu untuk memperbaiki citranya, sehingga populer di mata publik yang juntrungannya menaikkan elektabilitasnya.

Sejak dulu kala, para pencari kekuasaan, menggunakan strategi untuk meraih kekuasaan meskipun dengan cara – cara bengis. Di era Panglima Perang Alexander The Great dan Napoleon Bonaparte, untuk memperbesar pengaruh dan memenangkan dukungan politik diperlukan meriam dan bedil, namun di abad informasi di AS, untuk memenangkan pengaruh dan dukungan, yang diperlukan adalah iklan di televisi dan aktor utama di balik pertarungan politik bukan lagi jenderal perang, melainkan konsultan marketing (Akhmad Danial, 2009). Demikian halnya di era digital teknologi ini, diperlukan bukan hanya konsultan marketing dan beauty, tetapi juga pemanfaatan sarana – sarana pencitraan, seperti media massa (televisi, radio, media online) dan media sosial, dengan beragam platform media sosial.

Angela Aulie, 2022) mengatakan bahwa membangun citra diri yang positif di media sosial merupakan salah satu bentuk personal branding, untuk memberikan gambaran akan kualitas diri seseorang. Namun, membangun personal branding dan pencitraan merupakan dua hal yang berbanding terbalik. Membangun personal branding memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai atau citra diri dengan menunjukkan kemampuan atau kompetensi yang dimiliki untuk membangun persepsi positif kepada publik. Maka dari itu, personal branding didasari oleh kejujuran dengan menunjukkan diri yang sebenarnya sehingga mendapatkan umpan balik yang positif pula dari publik.

Lain halnya dengan pencitraan yang menekankan pada membentuk citra diri sesuai keinginan atau harapan publik demi mendapatkan simpati. Usaha pencitraan ini sering kali digunakan untuk menutupi hal-hal buruk yang ada pada dirinya sehingga didasari oleh kebohongan. Sering kali banyak orang menyalahartikan pencitraan sebagai bentuk personal branding. Mengunggah postingan kehidupan yang dilebih-lebihkan yang tidak sesuai dengan kehidupan sesungguhnya karena terjebak dalam realitas palsu demi memenuhi gengsi. Oleh karena itu, banyak dari orang yang menunjukkan citra diri di media sosial berdasarkan kebohongan memiliki kepribadian yang berbeda di dunia nyata sehingga mengakibatkan umpan balik yang negatif pula dari publik

 

 

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles