Kamis, April 25, 2024

Pengajian Bab Kesucian Tunggu Fatwa MUI, antara Sesat atau Tidak

Sukadi Weda

Guru Besar Universitas Negeri Makassar & Sekretaris MUI Sulsel

 

Beberapa hari terakhir, media massa, baik elektronik maupun cetak dan media sosial memberitakan tentang gunjingan keberadaan dua aliran di Sulawesi Selatan yang diduga sesat, yakni Hakikinya Hakiki, yang pimpinannya mengaku telah bertemu dengan Tuhan dan Nabi yang ada di kota Makassar dan Pengajian Bab Kesucian oleh Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Kedua aliran tersebut menyita perhatian publik, dan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah di Kabupaten Gowa, yang diduga menyimpang, melalui kegiatan pengajiannya bernama Bab Kesucian, menjadi perhatian serius Pemerintah, bahkan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas meminta petugas yang berwenang untuk melakukan dialog melalui pendekatan persuasif dengan Pimpinan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, dengan kegiatan pengajian Bab Kesucian-nya yang diberi dugaan label sesat.

Stigma sesat tersebut disematkan ke Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, di bawah besutan Wayang Hadi Kesumo, yang beralamat di Kampung Butta Ejayya, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomaranmu, Kabupaten Gowa. Pria 48 tahun tersebut tiba – tiba saja viral, dan menjadi incaran media, dan dikunjungi banyak orang, terutama pejabat terkait untuk meminta klarifikasi tentang praktik Bab Kesucian yang diduga sesat tersebut.

Rumor yang berkembang di masyarakat diduga kelompok ini melarang para pengikutnya untuk menunaikan shalat lima waktu, melarang mengonsumsi ikan dan daging, dan melarang meminum susu. Bangunan yayasan tersebut juga kelihatan unik, eksklusif, khas, dan berbeda dengan bangunan pada umumnya, seperti tampak pada media massa dan media sosial.

Stigma sesat ada sejak dahulu kala, yakni ketika pandangan atau kepercayaan keagamaan seseorang berbeda atau bertentangan dengan keyakinan atau kepercayaan masyarakat pada umumnya tentang suatu sistem keagamaan tertentu.

Dadang Kahmad (2014) mengemukakan bahwa dari perspektif Sosiologi, fenomena terjadinya aliran sesat  merupakan respons atas  perubahan sosial yang tidak dilandasi oleh keagamaan yang kuat. Frustrasi, kecewa, kemiskinan, bentuk pelarian dari beban sosial dan salah kaprah dalam memahami agama juga menjadi faktor lain yang menjadi penyebabnya.

Aliran sesat berasal dari bahasa Yunani yaitu heresy, hairresis yang artinya adalah pilihan keyakinan atau faksi dari pemeluk yang melawan. Kata heresy tersebut, banyak digunakan oleh Ireneus pada risalah-risalahnya terutama pada Contra Haereses atau melawan penyesat (Ananda, 2021). Ananda menambahkan bahwa dalam pengertian aliran sesat tersebut, heresi adalah pandangan maupun doktrin pada politik, filsafat, ilmu hingga seni yang berbeda dengan apa yang hadir pada umumnya dan dianggap berwibawa. Aliran-aliran sesat ini sempat muncul di dunia dan Indonesia.

Menanggapi seringnya muncul aliran sesat di tengah – tengah masyarakat Indonesia, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan 10 kriteria aliran sesat, yaitu: Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6; Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah; Meyakini turunnya wahyu setelah Alquran; Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi Alquran; Melakukan penafsiran Alquran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul;  Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir; Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu; dan Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.

MUI sebagai wadah berhimpun umat Islam dan menjadi wadah berkumpulnya para ulama, umara, zuama, dan cendikiawan muslim menjadi lembaga yang bertugas untuk membimbing dan membina umat muslim di Indonesia.

MUI memiliki tujuh tugas yang mencakup pengayoman dan pembinaan umat muslim di Indonesia. Berikut ini tugas dan fungsi MUI di Indonesia (IDN TIMES, 2022). Pengawal bagi pemeluk agama Islam; Pemberi edukasi dan pembimbing untuk pemeluk agama Islam; Penjaring kader-kader yang lebih baik; Pemberi solusi bagi masalah keagamaan di dunia internasional; Perumus konsep pendidikan Islam; Pengawal konten dalam media massa; dan Organisasi yang menjalankan kerja sama dengan organisasi keagamaan. Adapun peran penting MUI adalah: Pewaris tugas para nabi, yaitu menyebarkan dan memperjuangkan terwujudnya kehidupan sehari-hari dengan ajaran islam; MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam; Pembimbing dan pelayan umat Islam dalam pemenuhan harapan, aspirasi, dan tuntutan mereka. Selain itu, MUI membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan bangsa terkait hubungannya dengan pemerintah; MUI berperan tegas dalam menyampaikan kebenaran dan menyerukan untuk menghindari kebatilan dengan penuh hikmah dan istikamah; Pelopor gerakan tajdid atau pembaruan yang melakukan dinamisasi pemikiran Islam; MUI berperan sebagai pelopor perbaikan umat dalam berbagai keadaan, seperti penengah saat ada perbedaan pendapat dalam umat islam; dan MUI ikut bertanggung jawab dalam maju mundurnya kehidupan bangsa dalam kepemimpinan umat secara kelembagaan.

MUI melayani umat dengan penguatan agama dan ekonomi, dan dengan dua kekuatan itu, Amirsyah Tambunan, yang juga sekjen MUI berharap pengurus MUI harus mampu menjadi pelayan sekaligus menjadi wasit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat. Ia mencontohkan, kalau ada paham menyimpang, itu MUI menjadi rujukan melalui fatwanya, tausiyah (Ari Maryadi, 2021).

Di dalam menentukan menyimpang tidaknya aliran atau kelompok tertentu, MUI dengan sangat hati – hati dalam memberikan fatwahnya, karena dapat saja menyebabkan konflik komunal di tengah masyarakat dan tentu diawali dengan kajian hadis dan ayat yang mendukung.

Pelajaran dari Bab Kesucian di bawah naungan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, asuhan Wayang Hadi Kesumo tersebut adalah masyarakat menahan diri dan para aparat pemerintah dan MUI, serta para tokoh agama tidak buru – buru memberikan cap sesat, tetapi diawali dengan tabayyun (klarifikasi), cek and recheck, yakni duduk bersama antara aparat dengan pengurus yayasan tersebut.

Wayang Hadi Kesumo pun manut saja dan tidak mempersulit aparat yang ingin meminta klarifikasi tentang yayasan yang menjadi besutannya. Wayang Hadi Kesumo juga berharap untuk dibimbing oleh MUI bila saja ada praktik – praktik peribadatannya yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Untuk menyikapi rumor praktik aliran sesat tersebut, MUI Sulsel, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Kemenag Sulsel, Polda Sulsel, Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa, MUI Kabupaten Gowa, dan pejabat terkait melakukan pertemuan dengan pengurus Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, yang dipimpin langsung oleh ketuanya Wayang Hadi Kesumo. Dalam pertemuan tersebut semua yang hadir memberikan komentar dan pernyataan.

Usai berdialog dengan pimpinan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, Pemerintah bersama MUI langsung menggelar rapat untuk memberikan pernyataan sikap dan terdapat tujuh poin pernyataan sikap yang ditandatangani oleh delapan pimpinan yakni dari Pemerintah, MUI dan FKUB, yaitu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Selatan, Kaban Kesbangpol Sulsel, Kasubdit Sosbud Polda Sulsel, Ketua Umum MUI Sulsel, Ketua FKUB Sulsel, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Gowa, Ketua Umum MUI Kabupaten Gowa, dan Ketua FKUB Kab. Gowa.

Dilansir dari laman MUI Sulsel, adapun tujuh poin pernyataan sikap bersama tersebut, yang diterbitkan tanggal 10 Januari 2023, usai berdialong dengan Pimpinan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah, antara lain: Untuk meredam keresahan sosial, diimbau kepada seluruh masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh dengan adanya pemberitaan terkait paham keagamaan Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah di Kabupaten Gowa yang dapat memecah belah persatuan umat; menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak terprovokasi dan main hakim sendiri dalam menyikapi munculnya aliran Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah di Kabupaten Gowa dan mempercayakan penyelesaiannya kepada pihak yang berwenang; mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk membekukan sementara seluruh aktifitas Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah Kabupaten Gowa; meminta kepada Pengurus Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah Kabupaten Gowa untuk menghentikan kegiatan pendidikan dan dakwah serta menarik konten dakwah di media sosial hingga keluarnya ketetapan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia; meminta kepada Pengurus Yayasan Nur Mutiara Makrifatullah Kabupaten Gowa untuk terus berkoordinasi dengan Tim Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan Masyarakat (PAKEM) dan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gowa dalam rangka pembinaan; mengajak kepada seluruh tokoh agama untuk menyiarkan ajaran agama berdasarkan tuntunan yang diatur dalam kita suci masing – masing; dan mengimbau kepada masyarakat untuk merujuk kepada ulama dan tokoh agama yang memiliki kapasitas keagamaan dan sanad keilmuan yang jelas.

Dengan tujuh poin pernyataan tersebut menunjukkan bahwa MUI sangat hati – hati memberikan label atau fatwah sesat sebelum melakukan kajian mendalam dengan melibatkan para ulama dan ahli di bidang agama Islam, karena MUI adalah lembaga khadimul ummah (pelayan umat) dan shadiiqul hukumah (mitra pemerintah). Hal ini sejalan dengan pernyataan Dr Jeje Zainuddin, yang juga Ketua MUI Pusat saat memberikan sambutan pada Musda MUI Sulsel 2021 yang mengatakan bahwa MUI wajib hadir untuk memberikan solusi terhadap masalah kebangsaan untuk menciptakan khoiru ummah. MUI mengawal ulama sebagai panutan/teladan yang baik, menggerakkan dakwah nahi mungkar dan mengembangkan ukhuwah, baik ukhuwah Islamiyah, basyariah, dan wathoniyah.

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles