Jumat, April 19, 2024

Transformasi Penyelenggaraan Perpustakaan di Sulawesi Selatan

Oleh Heri Rusmana (Pustakawan Madya DPK Provinsi Sulawesi Selatan)

Dalam beberapa hari ini, penulis disuguhi postingan berita terkait Uji Publik Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Transformasi Penyelenggaraan Perpustakaan di Sulawesi Selatan. Ranperda ini merupakan inisiatif DPRD Provinsi Sulawesi Selatan untuk diajukan menjadi Perda definitif.

Terlepas dari Ranperda itu, ketika kita berbicara tranformasi berarti ada sesuatu yang harus diubah. Sesuai dengan kata transformasi itu sendiri yang berasal dari bahasa Inggris, “transformation”. Kata ini sinonim dengan “change”, “modification”, “amendment”, yang kalau diterjemahkan mengandung makna perubahan. Lalu, apa yang harus diubah dalam penyelenggaraan perpustakaan tersebut?

Mengutip pakar perpustakaan, SR. Ranganathan, bahwa perpustakaan ibarat organ yang tumbuh. Agar tumbuh sehat maka asupannya pun harus sehat. Merujuk pada pernyataan ahli matematika asal India itu, maka dalam penyelenggaraan perpustakaan, ada 2 aspek penting yang tidak dapat terpisahkan, yakni kelembagaan perpustakaan itu sendiri (internal) dan pihak luar (eksternal).

Kedua aspek ini sangat mempengaruhi eksistensi penyelenggaraan perpustakaan. Pertama, internal perpustakaan; meliputi koleksi, sumber daya manusia (SDM) atau pustakawan, sarana dan prasarana (Sarpras), dan pendanaan penyelenggaraan perpustakaan.

Sejauh ini, koleksi perpustakaan sangat terbatas, terutama koleksi yang ada di perpustakaan sekolah. Koleksi perpustakaan masih cenderung didominasi buku-buku ajar yang jumlahnya tidak sebanding dengan buku tema-tema lainnya yang juga sangat dibutuhkan siswa guna memperkaya wawasannya.

Jarang sekali didapati koleksi perpustakaan yang dapat menumbuh kembangkan minat siswa untuk berkunjung ke perpustakaan. Padahal, ini penting untuk merangsang minat mereka dan sebagai daya tarik bagi mereka.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa kebutuhan akan buku-buku bermutu yang beragam tema dan genre perlu menjadi prioritas bagi pengembangan, perpustakaan, khususnya koleksi perpustakaan.

Pada aspek internal ini, persoalan yang sangat tampak juga ada pada pustakawan yang masih kurang dari segi kuantitas, apalagi kualitas.

Pengelola perpustakaan di sekolah umumnya guru yang kekurangan jam mengajar. Guru itu ditempatkan sebagai pustakawan bukan karena
ketertarikan dan kompetensinya tapi sekadar pengisi waktu mengajarnya yang kosong.

Apabila waktu mengajarnya sudah terpenuhi, maka dia tidak lagi mengelola perpustakaan.
Aspek lain yang bertalian dengan persoalan internal, yakni sarana dan prasarana perpustakaan.

Kondisi Sarpras, boleh dikata, sangat terbatas, bahkan di beberapa tempat termasuk kategori buruk. Kebanyakan gedung perpustakaan tidak dibangun sesuai dengan kebutuhan perpustakaan.

Perpustakaan di kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan, umumnya menempati gedung bekas organisasi perangkat daerah (OPD) lain, yang tidak terpakai. Jadi terkesan, apa adanya, tanpa ada penataan yang sesuai dengan peruntukkan perpustakaan.

Ketiga aspek di atas, punya kaitan erat dengan masalah pendanaan perpustakaan. Coba saja telisik nomenklatur pendanaan perpustakaan, mulai dari jumlah dan alokasi anggarannya. Sangat memprihatinkan karena terbilang minim –mungkin juga tidak ada– dan angka￾angkanya sangat kurang untuk belanja koleksi, pegawai, dan sarana prasarana.

Kedua, pihak eksternal; dalam hal ini mereka yang memiliki kepentingan dengan perpustakaan. Yaitu, legislatif (DPRD), pemustaka, penggiat literasi, penulis dan penerbit, serta kelompok kepentingan lainnya. Pihak eksternal ini sangat berpengaruh terhadap penyelenggaraan perpustakaan.

Tanpa peran anggota DPRD, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, niscaya penyelenggaraan perpustakaan tidak akan berjalan dengan baik. Mereka punya hak budget
(kebijakan anggaran) untuk menentukan besar kecilnya anggaran bagi suatu OPD, termasuk Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan.

Melihat keterbatasan penyelenggaraan perpustakaan, maka peran penggiat literasi, penulis, budayawan, pemustaka dan pihak terkait lainnya, sangat besar pula dalam memajukan
penyelenggaraan program perpustakaan.

Melalui pendekatan kolaborasi dan sinergitas, persoalan keterbatasan anggaran bisa sedikit diatasi dengan mereka yang secara personal dan
komunal punya komitmen bagi gerakan literasi.

Hal tersebut sudah dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh DPK Provinsi Sulawesi Selatan. Karena itu, perpustakaan yang ada di manapun tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tanpa melibatkan pihak eksternal, seperti penggiat literasi, penulis, budayawan, dan pemustaka.

Karena itu, transformasi penyelenggaraan perpustakaan tidak boleh dilihat pada satu aspek
saja. Yakinlah bahwa penyelenggaraan perpustakaan tidak akan bertransformasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan, tanpa dibarengi dengan aksi nyata, baik dari pihak internal maupun eksternal.

Pihak perpustakaan perlu bergandengan tangan (berkolaborasi) dengan pihak eksternal melalui program dan kegiatan-kegiatan yang kreatif dan edukatif untuk menghidupkan perpustakaan, tidak semata-mata sebagai tempat membaca buku dan meminjam buku.

Sebagai catatan kritis untuk mengakhiri tulisan sederhana ini, penulis menaruh harapan besar
bahwa pembahasan Ranperda tentang Transformasi Penyelenggaraan Perpustakaan di Sulawesi Selatan akan membuka mata anggota dewan dan masyarakat terhadap kondisi riil
perpustakaan di daerah ini.

Ranperda ini akan jadi momentum dan turning point untuk kita secara bersama-sama melakukan perubahan terhadap kualitas layanan perpustakaan agar semakin maju, bermutu, dan kian bermanfaat sesuai tuntutan zaman. [

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles