Jumat, April 26, 2024

Viral, PN Memutus Menunda Pemilu dalam Yurisdiksi PTUN

Oleh: Achmad Ramli Karim
(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

Hukum publik berbeda dengan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur interaksi antara warga negara dengan negara, serta kepentingan umum, sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur hubungan manusia yang berkaitan dengan kepentingan individu. Oleh karena itu, sengketa pemilu termasuk dalam ranah hukum publik, karena berkaitan dengan kepentingan umum.

Sebagaimana diketahui secara umum bahwa hukum Tata Usaha Negara merupakan bagian dari hukum publik dan berasal dari Hukum Tata Usaha Negara.

Hukum administrasi negara mengatur tentang tindakan, kegiatan, dan keputusan yang dilakukan dan diambil oleh instansi pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan (negara) sehari-hari.

Di Indonesia sendiri, hukum tata usaha negara diuji dan diterapkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hukum administrasi negara atau hukum pemerintahan adalah semua hukum yang berkaitan dengan ketatausahaan negara, pemerintahan dan tata usaha.

Secara global dapat dikatakan bahwa hukum tata negara merupakan instrumen yuridis yang digunakan oleh pemerintah untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan sebaliknya hukum tata negara adalah hukum yang dapat digunakan oleh anggota masyarakat untuk mempengaruhi dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah.

Bahwa Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusannya memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan tahapan sisa Pemilihan Umum (Pemilu) sejak awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.

Setiap putusan pengadilan harus dihormati dan dipatuhi apabila tidak mengandung cacat hukum yang fatal sehingga tidak dapat dilaksanakan.

Namun, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait gugatan yang diajukan Partai Prima yang memerintahkan KPU untuk tidak melaksanakan tahapan sisa pemilu, merupakan putusan yang jelas mengandung cacat hukum yang mendasar karena telah melampaui kewenangan yurisdiksi. , menyebabkan keputusan menjadi tidak dapat dieksekusi.

Karena sengketa pemilu berkaitan dengan hukum tata usaha negara atau hukum publik yang merupakan wilayah hukum (yurisdiksi) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan bukan wilayah hukum Pengadilan Negeri. Apa maksud di balik persidangan sehingga Pengadilan Negeri (PN) memutus sengketa Pilkada yang bukan kewenangannya?

Pemilu merupakan sarana mewujudkan demokrasi yang melibatkan partisipasi rakyat (rakyat) untuk memilih wakilnya dari peserta pemilu (partai politik), yang akan duduk di lembaga legislatif (DPR/DPD) di tingkat pusat dan DPRD di tingkat pusat. tingkat provinsi dan kabupaten. / Tingkat kota.

Dalam struktur pemerintahan, pemilu berpotensi menimbulkan ketidakpuasan terhadap prosesnya. Salah satu bentuk ketidakpuasan dalam pemilu dikenal dengan istilah “sengketa proses pemilu”.

Sengketa Pemilu meliputi perselisihan yang terjadi antara peserta pemilu (partai politik) dan perselisihan antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu (KPU), akibat dikeluarkannya keputusan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota, sesuai dengan Pasal 466 UU. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Terkait penyelesaian sengketa Pemilu, Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang menyelesaikan sengketa proses Pemilu, memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari setelah permohonan diterima.

Objek Sengketa Pemilu

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Pasal 466 telah mengkualifikasi bahwa sengketa proses Pemilu terjadi karena; (a) hak peserta Pemilu (Parpol) yang dirugikan secara langsung oleh peserta Pemilu (parpol) lain, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau Keputusan KPU Kab./Kota, atau (b) hak peserta Pemilu yang dirugikan secara langsung oleh tindakan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kab./Kota, sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan KPU tersebut.

Untuk itu, sesuai regulasi yang berlaku, sengketa Pemilu terbagi menjadi sengketa proses dan sengketa hasil Pemilu.

UU Pemilu telah memberikan kewenangan masing-masing lembaga otoritasnya dalam penyelenggaraan Pemilu. Penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 467 dan Pasal 470 UU No. 7 Tahun 2017 sedangkan komplik antara Partai Prima dan KPU RI merupakan jenis sengketa proses Pemilu, bukan sengketa hasil.

Kesalahan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat adalah memutus perkara Pemilu yang merupakan Hukum Administrasi Negara (hukum publik) yang bukan wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri, melainkan yurisdiksi PTUN.

Setiap lembaga peradilan memiliki wilayah kerja masing-masing yang disebut dengan “yurisdiksi”. Tidak bisa perkara hukum pidana disidangkan oleh PTUN. Demikian juga sebaliknya, tidak bisa perkara hukum administrasi negara disidangkan oleh Pengadilan Negeri atau peradilan umum.

Seharusnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan pemohon, dalam hal ini Partai Prima, dan tidak melakukan proses hukum terkait sengketa proses pemilu tersebut. Karena sengketa pemilu bukan wilayah hukumnya, tetapi wilayah hukum PTUN, maka jika partai politik tidak lolos verifikasi administrasi karena belum memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat 2 UU Pemilu, maka partai politik tidak akan melanjutkan ke tahap verifikasi faktual.

Setiap peserta pemilu (partai politik) harus melewati tahap verifikasi, baik verifikasi administratif maupun verifikasi faktual. Persyaratan parpol untuk mengikuti pemilu, selain memiliki akte notaris kepengurusan di tingkat pusat, keterwakilan perempuan, partai politik juga harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi di Indonesia (34 provinsi).

Selain itu, setiap provinsi harus memiliki 75% kepengurusan dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, dan setiap kabupaten/kota harus memiliki 50% kepengurusan kecamatan dalam kabupaten/kota atau 1000 orang per kabupaten/kota (1/1000). .

Berdasarkan hasil verifikasi administrasi, Pihak Prima tidak memenuhi ketentuan Pasal 173 ayat 2 UU No. 7 Tahun 2017 juncto Pasal 7 dan 8 Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 terkait kewajiban partai politik mengikuti pemilu.

Berbeda dengan Partai Ummat yang dinyatakan resmi menjadi peserta Pemilu 2024 setelah rekapitulasi verifikasi faktual memenuhi syarat (MS) di 34 Provinsi.

Selanjutnya, setiap peserta pemilu (parpol) harus lolos verifikasi faktual berikutnya, yakni mampu memperoleh suara di atas 4% (parliamentary threshold) pada pemilu 2024.

Sudah menjadi ketentuan dan amanat konstitusi, bahwa pemilu diadakan setiap lima tahun sekali dan tidak boleh ditunda kecuali dalam keadaan “darurat sipil” atau dalam situasi perang antar bangsa yang dikenal dengan: darurat militer”.

Oleh karena itu, setiap komponen bangsa, termasuk lembaga peradilan, harus tunduk pada konstitusi negara sebagai konsekuensi negara hukum tanpa diskriminasi (equality before the law).

Proses Ajudikasi

Proses Ajudikasi merupakan kelanjutan yang akan dilakukan apabila tidak tercapai kesepakatan dalam proses mediasi. Ajudikasi dilakukan melalui mekanisme persidangan yang terbuka dan terbuka untuk umum.

Adapun tata cara pengajuan permohonan yaitu pemohon atau pihak yang merasa dirugikan mengajukan permohonan kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang memuat identitas pemohon, identitas responden, status hukum pemohon dan termohon, dan uraian yang jelas mengenai batas waktu pengajuan permohonan, serta uraian alasan pemohon.

Majelis Ajudikasi yang memimpin penyelesaian sengketa proses Pemilu sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Bawaslu. Panel Ajudikasi dibantu oleh Tim Ajudikasi yang merupakan tim pendukung Majelis Ajudikasi, dengan fungsi utama mendukung kerja Majelis Ajudikasi sengketa proses Pemilu.

Tim Ajudikasi sekurang-kurangnya terdiri dari 4 orang pegawai Bawaslu, terdiri dari 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang pendamping majelis, 1 (satu) orang notulis, dan 1 (satu) orang pemecah masalah.

Pemeriksaan permohonan sengketa pada sidang Ajudikasi dilakukan dengan menggunakan hukum pembuktian standar dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) Nomor 9 Tahun 2022 tentang tata cara penyelesaian sengketa proses Pemilu.

Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulawesi Selatan, Ketua Presidium Forum Generasi Muda Islam (GEMUIS), Ketua Koordinator Alumni IPM/IRM Gowa Daerah.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles