Senin, Mei 13, 2024

Tragedi Kematian Petugas KPPS pada Pemilu 2019, Semoga tidak Terulang

 

Sukardi Weda

Guru Besar Universitas Negeri Makassar

 

Pada Pemilu Presiden dan Pileg 2019, tercatat 894 jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dan tidak sedikit diantaranya yang dirawat di rumah sakit akibat kelelahan, yakni tercatat 11.239 orang petugas PPK yang sakit. Petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) yang meninggal akibat dan sakit karena kelelahan dan tekanan psikologis, dengan seabrek tugas – tugas pemilu serentak yang harus mereka selesaikan, mulai dari persiapan, pelaksanaan, pemungutan suara, hingga penghitungan suara.

Banyaknya petugas KPPS yang tumbang pada Pemilu 2019 menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat, ada yang berpendapat, bahwa meninggalnya para petugas KPPS tersebut yang tidak sedikit jumlahnya dan baru kali itu terjadi karena kelelahan. Ada juga yang berspekluasi bahwa meninggalnya petugas KPPS tersebut karena diracun.

Berbagai lembaga dan kelompok masyarakat sipil pun melakukan berbagai riset untuk mencari jawaban atas meninggalnya para petugas PPK tersebut dan hasilnya menunjukkan bahwa mereka meninggal bukan karena diracun tetapi karena kelelahan dan penyebab lainnya.

Universitas Gajah Mada (UGM) melakukan kajian lintas disiplin untuk mengungkap penyebab sakit dan wafatnya petugus KPPS Pemilu 2019, dan berdasarkan kajian tersebut, peneliti UGM menyimpulkan bahwa penyebab wafatnya petugas pemilu bukan disebabkan racun (Dewi Nurita, 2019). Ketua KPU RI, Arief Budiman memastikan tak ada petugas KPPS yang meninggal karena keracunan.

Terkait dengan banyaknya petugas KPPS yang meninggal, saya sebagai salah satu saksi yang juga ketua TPS di salah satu TPS di Kelurahan Bakung, Kecamatan Biringkanaya Kota Makassar mengetahui persis pelaksanaan pemilu serentak 2019 mulai dari persiapan, pemungutan suara, dan penghitungan suara yang menguras energi dan pikiran serta tekanan psikologis. Karena para pemilih tidak hanya memilih pasangan calon, yakni calon presiden dan wakilnya, tetapi juga memilih calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, dan DPD sehingga proses pelaksanaan pemilu mulai dari pemungutan suara hingga pada penghitungan suara menyita banyak waktu, sehingga membuat petugas KPPS kelelahan.

Sebagai pengalaman saya, bayangkan saja anggota KPPS di TPS tempat kami bertugas, tidak sempat makan malam, padahal juga tidak sempat makan siang karena fokus untuk menyelesaikan penghitungan suara secara detil yang kadang – kadang sudah ditulis, kemudian dihapus/dicoret lagi karena terdapat kesalahan dan ini berlangsung bukan satu kali dan dua kali saja, tetapi kadang – kadang kesalahan itu berulang beberapa kali.

Pada Pemilu 2019, yang menggabungkan Pilpres dan Pileg, tingkat stres para petugas KPPS sangat tinggi, karena harus menyelesaikan penghitungan suara dalam jangka waktu yang telah ditentukan, hanya saja karena pemungutan suara berlangsung hingga sore hari, otomatis penghitungan suara dilakukan hingga tengah malam, bahkan selesai subuh hari dan besok paginya barulah kotak suara disetor ke kelurahan, tempat kotak suara tersebut dikumpul.

Ada juga pengalaman teman saya sebagai ketua TPS, dia menyelesaikan pemungutan suara pada tengah malam dan malam itu juga dia bawa kotak suara ke kelurahan, tetapi saat tiba di kelurahan tidak ada lagi petugas KPPS akhirnya kotak suara tersebut dia bawa pulang ke rumahnya, kemudian besoknya dia diminta untuk menghitung ulang suara dalam kotak tersebut karena ada kecurigaan dari para saksi jangan – jangan telah dimanipulasi surat suara dalam kotak suara tersebut. Dengan penghitungan suara ulang itulah membuat teman saya itu kelelahan dan akhirnya sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit.

Jadi sesungguhnya para petugas TPS yang meninggal dan sakit pada Pemilu serentak 2019 yang jumlahnya tidak sedikit akibat dari kelelahan dan secara psikologis tertekan, bukan karena diracun. Bayangkan saja kalau seseorang tidak makan siang lalu malam hari juga tidak makan malam karena tidak ada waktu untuk itu, karena semuanya berpacu untuk menyelesaikan tugas kepemiluan dengan baik, akhirnya membuat mereka kelelahan dan juntrungannya sakit dan meninggal dunia. Sehingga tidak sedikit yang menilai Pemilu 2019 termasuk pemilu yang terburuk sepanjang sejarah perpemiluan di Indonesia. Sejumlah pihak bahkan menyebut, pemilu yang digelar 5 April 2019 tersebut sebagai pemilu terburuk sejak era reformasi dan Orde Baru (Iqbal Fadil, 2019).

Dengan pengalaman buruk itulah, maka Pemerintah dan KPU perlu mencari stategi sehingga tragedi kematian serupa tidak terulang pada Pemilu serentak 2024 mendatang. Di satu sisi, penyatuan pilpres dan pileg bertujuan untuk menghemat anggaran pemilu, namun di sisi lain, kesehatan para petugas KPPS juga perlu menjadi prioritas utama.

Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyebut setidaknya terdapat empat imbauan agar pelaksanaan pemilu di Indonesia lebih baik kedepan, dua diantaranya adalah mengoptimalkan rekrutmen petugas dan bimbingan teknis dan segera memertimbangkan penerapan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik agar mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang sangat melelahkan di TPS.

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles