Sabtu, Juli 27, 2024

Kasus Karhutla, Negara Abai Menanganinya

Oleh : Sartika (Tim Pena Ideologis Maros)

Menjalani kehidupan di tengah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sungguh sangat menyedihkan, bahkan dapat mengantarkan pada kematian. Fenomena inilah yang hingga saat ini masih terus terjadi dan dampaknya menimpa masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia.

Dilansir dari Media Center Singkawang (14/09/2023), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kesehatan (KLHK) mengumpulkan data selama periode Januari hingga Agustus 2023 bahwa indikasi luas karhutla di Indonesia sudah mencapai 267.935,59 hektar. Angka tersebut melebihi kasus karhutla yang terjadi pada tahun sebelumnya. Tak ayal, kasus karhutla menimbulkan berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Di Singkawang, karhutla berdampak pada meningkatnya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Puncaknya terjadi pada bulan Juli 2023 yaitu 3.107 kasus.

Tidak hanya di Singkawang, Menurut data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan kasus yang serupa yakni terjadi peningkatan penderita ISPA akibat karhutla di berbagai provinsi diantaranya, Riau, Sumsel, Jambi, Kalbar, Kalteng dan Kalsel. Kalteng dan Riau telah menetapkan wilayahnya sebagai keadaan darurat akibat asap. (VOA, 23/09/2023)

Lagi-lagi Kepentingan Oligarki

Tidak dipungkiri, asap beracun karhutla dapat menyebabkan mulai dari sulit bernafas, mata terasa perih, tenggorokan kering, pusing, hilang kesadaran hingga kematian. Kehidupan normal dan perekonomian masyarakat juga ikut terganggu, bahkan kesulitan melakukan aktivitas di dalam rumah akibat adanya racun asap karhutla. Dengan kondisi seperti ini, alih-alih menjadi perhatian serius penguasa, penguasa justru memfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutang gambut yang menjadi akar permasalahan tersebut.

Setidaknya ada dua fakta yang menjadi bukti bahwa penguasa saat ini bertindak sebagai pelayan korporasi dan lebih memenangkan kepentingan oligarki, sementara rakyat hanya dapat menelan pil pahit karenanya. Dua diantaranya yaitu, pertama, penguasa memberikan hak konsesi kepada sejumlah korporasi sawit, bahkan penguasa sangat mendukung korporasi milik lahan sawit yang berskala besar, diantaranya Wilmar group. Wilmar group mendapatkan nilai subsidi terbesar yakni Rp. 4,16 triliun sedangkan setoran yang diberikan Wilmar group kepada negara hanya senilai Rp. 1,32 triliun. (CNN Indonesia, 20/09/2023).
Kedua, penguasa melakukan pengadopsian terhadap agenda hegemoni climate change yang berkelindan satu sama lain yang menjadi biang penyebab terjadinya petaka karhutla. Tidak hanya itu, dilansir dari Kompas (16/09/2023), Kepala Depertemen Advokasi, Walhi Zenzi Suhadi pada tahun 2019 lalu pernah menyatakan bahwa ekosistem hutan gambut di Riau dan Kalteng mulai rusak sejak penguasa memberikan konsesi lahan kepada para pengusaha. Akhirnya para pengusaha sering mengeringkan kanal di lahan gambut, padahal kanal yang berisi air tersebut disediakan agar lahan gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar. Akibat kanal lahan gambut mengering karhutla pun mudah terjadi dan terus meluas.

Mewujudkan Nol Karhutla Dengan Khilafah

Untuk mewujudkan nol karhutla, satu-satunya solusi yang dapat dilakukan yakni dengan menerapkan aturan Islam dalam tegaknya sistem Khilafah. Mengapa Khilafah ? Sebab hanya Khilafah lah yang memiliki sejumlah prinsip dasar yang bisa diterapkan salah satunya hutan dan lahan, di samping mampu mengatasi permasalah sosial akibat bencana lainnya. Diantara prinsip-prinsip dasar Khilafah adalah pertama, dalam kepemilikan, hutan gambut terkategori kepemilikan umum sehingga dilarang di perjual-belikan terlebih hutan gambut merupakan paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa.

Kedua, Negara dalam sistem Khilafah bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan dan lahan gambut, penguasa haram menjadi regulator bagi kepentingan oligarki sebagaimana perkebunan sawit. Ketiga, kasus karhutla termasuk bencana bagi jutaan orang, sehingga abai dan lalai terhadap permasalahan tersebut hukumannya haram dalam Islam. Hak konsesi juga tidak dikenal dalam Islam, pemanfaatan secara istimewa atau himmah hanya ada pada negara dengan tujuan kemaslahatan Islam dan seluruh manusia.

Khilafah pun akan bertindak tegas terhadap aspek pengaturan tata guna lahan dan pemanfaatan lahan, entah untuk sebagai lahan permukiman atau sebagai lahan pertanian. Jika terjadi semisal kabut asap, Khilafah akan segera bertindak dan mengambil porsi paling besar dalam menyelesaikannya karena kewajiban amanah terkait melindungi rakyat ada padanya sebagai ra’in suunil ummah. Maka dari itu sudah seharusnya kembali kepada kehidupan Islam yang diterapkan dalam bingkai Khilafah.

Wallahu’alam Bisshawab..

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles

Sorry Bro