Senin, Mei 20, 2024

Ikut Mengantar Makassar Masuki Digitalisasi Jurnalisme Radio

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)

Era keterbukaan pers, di masa awal Reformasi, juga berdampak pada dunia penyiaran. Radio siaran mulai memproduksi berita sendiri, sehingga butuh dukungan teknologi dan penguatan kapasitas SDM penyiaran. Pada periode inilah di Makassar, radio-radio bersentuhan dengan digitalisasi penyiaran.

Indikator digitalisasi terjadi, bisa dilihat pada produksi siaran, baik untuk mengedit berita, membuat iklan, atau program siaran lainnya. Paling kentara adalah penggunaan perangkat lunak Winamp untuk memutar musik dan video, yang sekarang berkembang menjadi program multiguna. Pemanfaatan aplikasi Cool Edit Pro, untuk pengeditan, juga jadi penanda radio-radio memasuki era digital.

Di ruang siar, digitalisasi radio paling terlihat lagi. Penyiar, yang sebelumnya membawa kaset atau compact disc (CD) ke ruang siar, sejak digitalisasi, tak lagi menghadapi kerepotan itu. Semua lagu yang akan diputar, termasuk iklan, sudah ada di layar komputer. Music Director sudah menyiapkannya. Play list tersedia, tinggal diklik saja.

Studio-studio terlihat canggih dengan adanya layar TV yang tersambung ke satelit. Di Radio Bharata FM, tempat kerja saya, tersedia satu monitor TV yang terhubung dengan Deutsche Welle, Jerman. Kebetulan salah seorang mantan penyiar radio yang beralamat di Jalan Rajawali No 16 itu, bekerja di DW. Ada pula parabola yang terhubung ke satelit dengan Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta.

Saya bukan orang teknik dan tak cukup paham penggunaan teknologi berkaitan dengan produksi siaran. Untuk urusan produksi di Bharata FM, sudah ada timnya. Ada Darul Aqsa dan Adam Hermanto. Yang saya ingin cerita dalam tulisan ini, terkait peran kecil saya, saat Makassar memasuki era sofistikasi penyiaran, khususnya jurnalisme radio.

Bulan September 1999, AJI Makassar, eLSIM, dan ISAI mengadakan Workshop Jurnalisme Radio di kantor eLSIM, Jalan Pengayoman. Bangunan kantornya sekarang tidak ada, tapi lokasinya dekak pom bensin Pengayoman).

Saya dan Harry Triyadi (Radio Mercurius FM) diminta sebagai pelaksana kegiatan. Alasannya, mungkin karena kami berlatar belakang radio. Saat itu, saya dan penyiar yang punya nama asli Ridwan F Rasyid itu, memang sering main di eLSIM. Tahun itu juga, saya tercatat sebagai anggota AJI Makassar.

AJI (Aliansi Jurnalis Independen) merupakan organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan pers, mendukung demokratisasi, dan memperjuangkan hak publik akan informasi.

AJI mendukung kesejahteraan jurnalis dan melawan kekerasan terhadap jurnalis. Pengurus AJI Makassar di masa awal, punya benang merah dengan eLSIM, dan jaringan ke ISAI Jakarta. ISAI mengusung semangat yang tak jauh beda, bergerak di bidang kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan kebebasan berpikir.

Lembaga nirlaba eLSIM (Lembaga Studi Informasi dan Media Massa), didirikan tahun 1998, bertujuan untuk melakukan pemantauan dan pengkajian media massa (media watch), aktif menyelenggarakan pendidikan jurnalistik, serta menerbitkan jurnal ilmiah.

Pendiri lembaga ini merupakan jurnalis dan intelektual. Mereka adalah Prof Dr A Muis, SH, Dr Hamid Awaluddin, SH, LLM, Aidir Amin Daud, SH, Sukriansyah S Latief, dan Tomi Lebang.

Meski Workshop Jurnalisme Radio ini lebih pada produksi siaran berita, tapi pengayaan tentang hukum pers juga diberikan. Materinya disampaikan oleh Prof A Muis, yang terkenal sebagai pakar hukum media.

Prof Muis, yang punya nama lengkap Abdul Muis Andi Makkasau, malah membagikan bukunya “Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers”, terbitan tahun 1996. Buku ini merupakan bunga rampai pemikirannya terkait komunikasi, jurnalistik, dan hukum pers.

Acara workshop ini dihadiri oleh Santoso, Direktur Utama KBR 68H, dan seorang trainer yang melatih produksi siaran dengan perangkat teknologi mutakhir di masa itu. Radio 68H kelahirannya dibidani oleh ISAI dan Komunitas Utan Kayu, beralamat di Jalan Utan Kayu No 68H Jakarta Timur.

Saya ingat, suatu malam di sela-sela pelatihan, trainer tersebut diajak ke Radio Bharata FM untuk mengasistensi pemasangan jaringan untuk produksi siaran dengan memanfaatkan teknologi baru. Darul Aqsa, yang memahami aspek teknis, menemaninya bersama Pak Bambang Yuliarto, bos Bharata FM. Saya juga berada di sana.

Oh iya, pada tulisan lain, saya sudah ceritakan, bahwa saya menjadi peserta pelatihan jurnalisme radio yang diadakan ISAI. Ada serangkaian pelatihan lain yang diadakan, setelah itu.

Salah satunya yang diikuti Yanti Tomu, penyiar Bharata FM, sekarang Direktur Utama Perumda Parkir Makassar Raya. Pulang dari pelatihan itu, sebagai peserta, Yanti diberi perangkat rekaman merk Sony.

Sebagai reporter, saya lebih sering menggunakan alat perekam baru tersebut, menggantikan tape recorder manual sebelumnya. Alat perekam baru ini, terbukti sangat membantu mempermudah pekerjaan.

Perangkatnya dilengkapi headset yang bisa digunakan untuk mengontrol suara saat wawancara. Juga ada fasilitas pemutar track, untuk menyimpan dan mencari pada track berapa wawancara dilakukan. Baterainya pun tinggal dicas dan punya kapasitas daya listrik yang besar.

Dengan tape recoder manual, saya akui punya beberapa kelemahan. Baterainya mirip yang dipakai untuk jam dinding, jadi mudah swak. Posisi miknya, termasuk jarak, harus diperhatikan saat wawancara. Belum lagi, tape ini butuh kaset untuk menyimpan hasil wawancara.

Sayangnya, tidak selalu menggunakan kaset baru. Terkadang kaset bekas, yang jika sebelum digunakan harus dihapus terkebih dahulu, atau langsung ditimpa. Sialnya, jika sudah selesai wawancara, ternyata tombol recordnya lupa ditekan hehehe. Jadi sebagai antisipasi, harus selalu di-back up dengan catatan.

Dengan alat perekam baru yang canggih itu, juga sangat membantu ketika di ruang produksi. Tinggal disambungkan saja kabel datanya, akan terbaca file yang mau diambil. Tak perlu dicari-cari lagi, seperti kalau rekaman ala manual. Di ruang produksi dengan sistem komputerisasi ini, bila lagi take vokal, kita tak perlu ragu akan salah membaca naskah. Lanjut saja, nanti sebentar teman di bagian produksi yang merapikannya.

Benar-benar pekerjaan kita dipermudah oleh kemajuan dan pemanfaatan IT. Dan itu terjadi menjelang kita memasuki milenium ketiga, abad digital. (*)

Gowa, 17 Februari 2024

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles