Oleh : Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Sulawesi Selatan)
KATADIA,MAKASSAR || Ketika berjalan menyusuri koridor dekat Aula Prof Mattulada, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), pikiran saya terbawa pada suasana Universitas Hasanuddin (Unhas) era 80-an. Pintu ruangan yang kini berbingkai merah itu, dahulu merupakan ruang H-33 Fakultas Hukum. Ini ruang paling memorable bagi kami, termasuk saya yang angkatan 87.
Di ruang H-33 ini kami digojlok saat OPSPEK (Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus) serta mengikuti kuliah perdana dengan peserta ratusan mahasiswa. Seminar, diskusi, dan studium generale juga diadakan di sini. Tentu saja, kami juga kerap begadang dan nginap di ruangan berkonsep teater ini, bila tengah mengerjakan spanduk dan mempersiapkan acara.
Dari koridor itu, saya diajak menuju ke kantin Fakultas Ekonomi oleh Dr Sumarlin Rengko HR, M.Hum. Tujuannya, maksi (makan siang) dan ngopi. Pengajar pada Prodi Sastra Daerah FIB Unhas itu, mentraktir saya, setelah saya menyelesaikan kelas Praktisi Mengajar angkatan 4, pada Rabu, 29 Mei 2024.
Sepanjang jalan, mata saya menangkap banyak hal yang berubah. Terdapat mushollah sebelum kami berbelok ke arah kawasan kantin. Ada pula halaman yang cukup luas di tengah dengan penataan mirip ampiteater. Terus kami berjalan menuju kantin yang menyediakan beragam menu. Masing-masing kantin mungkin seukuran 3×3 meter.
Kami tiba di kantin, lalu mengambil tempat duduk yang agak di pojok. Pak Rengko, begitu saya memanggilnya, mulai menawarkan menu apa yang ingin saya pesan. Dia terlihat menuju tempat berbeda. Rupanya dia memesan makanan dan minuman di tempat yang berbeda-beda. Alasannya, berbagi rezeki, biar semua Mace, laku dagangannya. Oh iya, Mace itu sebutan untuk ibu-ibu penjual di kantin.
Melihat cara Pak Rengko membeli makanan di kantin yang berbeda, saya sampaikan, itulah yang dimaksud adil sejak dalam pikiran. Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Bumi Manusia (1980), menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Kalimat Pram itu yang saya comot, siang itu.
Dari kantin tempat maksi, kami bergeser ke tempat duduk outdoor panjang, terbuat dari beton yang dilapisi tegel. Kantin ini dekat FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Saya memesan kopi susu, sedangkan Pak Rengko memesan air jeruk hangat. Di sini, dosen Sastra Daerah itu mengorek kenangan saya tentang Unhas. Dia bertanya, bagaimana susana kantin kampus dahulu saat saya masih kuliah.
Sambil menunggu pesanan kopi tiba, saya kemudian bercerita. Dahulu, ada satu kantin yang populer, namanya Bamboo House. Letaknya di depan antara Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Nama Bamboo House ini karena bangunan kantin yang sederhana itu seperti bersandar pada rumpun bambu yang tumbuh di situ.
Saya suka membaca daftar menu yang dibuat secara kreatif. Kayaknya, yang membuatnya anak-anak mahasiswa karena gayanya mirip pamflet yang biasa di pasang mahasiswa. Daftar menunya unik. Ada Puccank (putu cangkir), Kopasus (kopi dan susu/kopi susu), kopi onk (kopi hitam), dan teh onk (teh manis). Menu lainnya, songkolo, telur rebus, mie kuah, serta pisgor (pisang goreng) dan ubi goreng yang dimakan dengan sambal dan kecap.
Harga-harga menu di sini sangat terjangkau. Beberaoa menunya bahkan sudah tersedia di depan kita, tinggal makan. Ada juga yang mesti dipesan, seperti ‘Kopasus’ dan mie. Selesai itu, datang membayar, tanpa pernah dicek berapa dan apa yang dimakan. Dibayar, sesuai pengakuan konsumen.
Pengunjung Bamboo House tak hanya mahasiswa dari FIS (Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial), juga dari fakultas-fakultas lain di Unhas. Boleh dikata, ini tempat nongkrong paling hits di masanya.
Pemilik Bamboo House ini Daeng Du’ding, yang oleh teman kami, Musran, dipanggil Kak Dedy. Kedekatan dengan Daeng Du’ding terjalin, saat beliau ikut main domino di belakang ruang H-33. Beberapa teman biasa mengisi waktu luang bermain gaple, bila tak ada perkuliahan, atau saat menunggu kuliah berikutnya.
Ada pintu belakang H-33 dekat tangga, yang memungkinkan teman-teman bisa segera masuk kelas, bila sudah ada dosennya. Karena teman-teman bermain dominonya di situ, Musran menamai mereka Abang alias anak bawah tangga hehehe.
Di masa itu, Bamboo House berdiri sendiri, dengan hamparan luas rumput yang membentang sejauh mata memandang di belakangnya. Rumput itu kering saat musim kemarau yang membuatnya mudah terbakar. Kerap kali percikan api terlihat dari jauh, dan asap mengepul saat padang rumput di depan H-33 atau di belakang Bamboo House, terbakar. Kebakaran rumput itu akan padam sendiri, begitu mencapai area tanah kosong, sebelum parkiran.
Tempat makan lain, bisa ditemui tak jauh dari danau Unhas, atau tepatnya di dekat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM). Di sini, ada penjual coto Makassar, yang hanya buka mulai pagi sampai siang. Rasa cotonya bisa diandalkan, makanya meski harus berjalan kaki dari Fakultas Hukum, saya kadang ke sana, setelah itu rehat di baruga kecil yang berada dekat danau.
Pesanan kami datang, di antar oleh Mace yang berbeda: segelas kopi susu dan es jeruk hangat. Pak Rengko senyum-senyum mendengar cerita saya. Sebagai mahasiswa angkatan 1999 tentu ada banyak hal yang dia tak jumpai saat saya masih kuliah, tahun 1987-1992.
Saya ceritakan, dahulu ada Kantin Jasa Boga. Kini menjadi Mushollah Al-Adab dan sekretariat organisasi kemahasiswaan lingkup FIB Unhas. FIB dahulu disebut Fakultas Sastra. Fakultas Sastra, masa itu, juga tersambung dengan koridor ke lantai 2 Fakultas Hukum.
Kantin Jasa Boga ini menyediakan menu yang agak mewah untuk ukuran masa itu. Menunya, antara lain nasi goreng dan ayam goreng. Bila sudah tiba di kasir, ada yang iseng, menyebut dada kiri atau dada kanan untuk menyebut pesanan ayam gorengnya. Kasir Kantin Jasa Boga ini perempuan, yang mengenakan seragam, sehingga terlihat rapi. Selain di FIS, Kantin Jasa Boga juga ada di sekitar Fakultas MIPA.
Tempat makan lain muncul setelah Ramsis (asrama mahasiswa) berdiri. Teman satu angkatan kami, Harun Ar Rasyid, yang membawa saya ke sini. Biasa istirahat, kalau tidak ada perkuliahan, atau bila sibuk mengurus kegiatan kemahasiswaan. Maklum, tukang bikin spanduk, jadi saya kerap numpang nginap di kampus hehehe.
Harun Ar Rasyid pernah jadi Ketua BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) Fakultas Hukum. Dia juga sebagai Wakil Direktur Ramsis bersama Imam Mujahidin Fahmid. Direktur Ramsis, di masa awal, yakni Prof Anwar Arifin. Harun merupakan Ketua RT untuk Blok EFGH yang berada di unit 1.
Pengelola kantin Ramsis merupakan binaan pengelola Ramsis. Menu di sini harganya relatif murah dan beragam, seperti masakan rumahan. Disajikan secara prasmanan, ambil sendiri sesuai porsi, nanti dihitung saat berada di kasir. Kalau masih lapar, mau nambah? Silakan ditambah nasinya, tak perlu bayar.
Sesekali saya menyeruput kopi susu yang ada di atas meja. Saya sampaikan, beruntung mahasiswa sekarang, ada banyak kantin tersedia di Unhas. Tempatnya juga cukup nyaman. Tinggal duitnya saja, sudah bisa memilih sesuai selera. Harga-harga di kantin ini masih terjangkau untuk ukuran mahasiswa. (*)