Minggu, April 28, 2024

Fadli Andi Natsif, Susu Beruang, dan Perda Penyiaran TV Kabel

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

Sulawesi Selatan merupakan provinsi pertama di Indonesia yang punya regulasi tentang TV Kabel. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyiaran Televisi Melalui Kabel itu, ditetapkan di Makassar, pada tanggal 6 Juli 2011, pada masa Gubernur Syahrul Yasin Limpo (SYL). Saat itu, merupakan tahun pertama saya menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan (periode 2011-2014).

Konsepsi, data, payung hukum, dan argumentasi yang jadi dasar pemikiran lahirnya Perda TV Kabel ini, sudah diterbitkan dalam bentuk buku, pada tahun 2014, oleh PT Umitoha Ukhuwah Grafika bekerja sama dengan KPID Sulawesi Selatan. Judulnya, “Perda TV Kabel, Sebuah Pengalaman”. Namun kisah di balik pengerjaan Naskah Akademik (NA) dan Batang Tubuh Ranperda tentang Penyiaran TV Kabel itu, belum pernah ditulis. Jadi, boleh dikata, ini merupakan behind the scence dari success story tersebut.

Cerita ini bermula ketika saya, sebagai komisioner KPID Sulawesi Selatan (saat itu masih jadi anggota, periode 2007-2010) diajak menghadiri Rapat Persiapan Ranperda TV Kabel di Komisi A DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Dari KPID, selain saya, ada Aswar Hasan (Ketua dua periode, 2004-2007 dan 2007-2010), dan Andi Taddampali (Wakil Ketua). Kehadiran saya, hari itu, sepertinya sebagai persiapan meneruskan tongkat estafet kerja Aswar Hasan, yang sudah di pengujung periodenya.

Rapat yang dipimpin Ketua Komisi A, Hj Tenri Olle Yasin Limpo ini, juga dihadiri Andi Fashar M Padjalangi, Staf Ahli Bidang Hukum dan HAM, mewakili Gubernur Sulawesi Selatan, Kepala Biro Hukum dan HAM, saat itu, adalah Simon, serta Kadis Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, saat itu, Ir H Masykur A Sulthan, MS.

Dalam rapat tanggal 5 Januari 2011 itu, Ketua Komisi A bertanya kepada kami dari KPID, apakah bisa membantu mempersiapkan draf awal? Kalau bisa, berapa lama? Aswar Hasan menyanggupi, tapi terkait berapa lama bisa dibuat, beliau bertanya ke saya. Kebetulan saya memang duduk berdekatan dengannya. Spontan saya jawab, 2 minggu atau 14 hari kerja. Pertanyaan ini, sebagai kesimpulan pertemuan bahwa kami sepakat akan menyusun Ranperda TV Kabel yang hari itu menjadi agenda pertemuan.

Keesokan harinya, pada Kamis, 6 Januari 2011, kami menindaklanjuti kesepakatan di Komisi A dengan mengadakan pertemuan di Ruang Rapat Asisten 1 Provinsi Sulawesi Selatan di Gedung A Kantor Gubernur Sulawesi Selatan.

Andi Fashar M Padjalangi, sebagai tuan rumah pertemuan. Aswar Hasan, Andi Taddampali, saya, dan staf Sekretariat KPID hadir. Dari Biro Hukum dan HAM, ada AM Yusran, serta Johansyah Mansyur dan Fahlevi dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika. Sekadar informasi, Dr H Andi Fashar M Padjalangi, M.Si, saat ini merupakan Bupati Bone (periode 2013-2018 dan 2018-2023).

Saya ingat persis kalimat yang dilontarkan Andi Fashar M Padjalangi, di awal pertemuan. Katanya, “Berani ta itu menyanggupi bikin draf Ranperda hanya 2 minggu. Sementara pengalaman orang, biasanya berbulan-bulan.” Aswar Hasan menanggapi pernyataan itu dengan berkata, “Sudah ada mi bahannya di kepala Pak Rusdin, tinggal mau dituangkan saja.” Mendengar itu, saya hanya tersenyum. Saya memang kerap mengkaji dan menulis tentang TV Kabel, dalam bentuk artikel untuk rubrik opini di surat kabar.

Pertemuan hari itu, selain membahas soal prosedur dan administrasi tim penyusun draf, juga menyentuh substansi Ranpenda. Misalnya, siapa yang akan menerbitkan SK tim, bagaimana pembuatan Naskah Akademik, pengaturan soal wilayah layanan, dan efektivitas penerapan Perda nantinya. Selain itu, dilakukan penyamaan persepsi, siapa yang jadi pemrakarsa Ranperda, apakah inisiatif dewan, pengajuan lewat Pemprov atau KPID.

Akhirnya, disepakati Ranperda akan diajukan melalui hak inisiatif DPRD, biar lebih mudah. KPID terpanggil dan sifatnya hanya membantu penyusunan Ranperda.

Hari itu diputuskan pula bahwa pada minggu depan, akan dilanjutkan dengan pertemuan untuk membahas draf yang sudah disusun. Tim hanya membuat draf awal, selanjutnya menjadi kewenangan DPRD sebagai inisiator.

Walaupun dalam pertemuan disinggung beberapa regulasi yang dapat dijadikan rujukan, baik UU maupun dalam bentuk Perda, tapi saya belum mendapat gambaran yang mudah dipahami. Saya lalu menghubungi, Fadli Andi Natsif, senior saya di Fakultas Hukum Unhas. Dia satu tingkat di atas saya. Dia angkatan 86, saya angkatan 87.

Fadli Andi Natsif, ketika mahasiswa, pernah jadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas Hukum Unhas, periode 1988-1989. Dia pernah menjadi dosen di Universitas ’45, sekarang Universitas Bosowa (Unibos). Sejak 2014, Dr Fadli Andi Natsif, SH, MH, terangkat sebagai dosen PNS di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar. Sebagai dosen, dia tak melulu mengajar di kampus tapi juga banyak terlibat dalam aktivitas LSM, terutama advokasi hukum, HAM, dan kebijakan publik.

Saya dan Fadli Andi Natsif bertemu di Warkop Cappo, Jalan Sultan Alauddin. Dengan ditemani kopi susu dan ubi goreng, kami membahas aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis lahirnya suatu Ranperda. Fadli Andi Natsif pula yang menyampaikan rujukan hukum penyusunan NA yang, ketika itu, masih merujuk pada Keputusan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) No. G-159.PR.09.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan.

Selain membaca keputusan lembaga yang saat aturan dibuat masih berada di bawah naungan Departemen Kehakiman RI itu, saya juga membuka beberapa Perda dan alur penyusunan NA untuk melihat polanya. Sebagai orang yang punya akar advokasi, saya punya pengalaman ikut pelatihan legal drafting (perancangan naskah hukum) atau membuat counter legal draft (rancangan tanding). Dan sebagai Sarjana Hukum, punya sedikit modal memahami Bahasa Hukum dan Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ini mata kuliah yang masih nyantol, meski sedikit hehehe.

Setelah mendapat advis dari sisi hukum, saya juga menghubungi Harry Wijaya Laurin dan Ari Kurniawan, dua pengusaha TV Kabel di Makassar dan Gowa. Lagi-lagi kami bertemu sambil menyeruput kopi. Kali ini di salah satu kafe di Mal Panakkukang (MP). Kepada mereka saya sampaikan, mau tidak mau, suka tidak suka, DPRD Provinsi Sulawesi Selatan sudah mengagendakan penyusunan Ranperda TV Kabel. Akan jauh lebih baik kalau mereka memberi masukan, sehingga aspirasi dan kebutuhan mereka bisa terwadahi dalam Ranperda nantinya.

Diskusi seputar praktik TV Kabel ini kadang juga dengan pengusaha dan operator TV Kabel lain, seperti Riky, Mulyadi dan lain-lain. Mereka ini tergabung dalam Asosiasi TV Kabel Indonesia (ASTIKA), yang belakangan menjadi Asosiasi Pengusaha Televisi Kabel Indonesia (APTEKINDO), kemudian berubah lagi menjadi Indonesian Cable Television Association (ICTA). Begitu menjadi ICTA, organisasi ini dipimpin H Rahman Halid.

Setelah mendapat amunisi dari akademisi dan praktisi, serta pengalaman sebagai regulator, saya lalu menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM). Pada tahap ini, saya butuh energi yang banyak. Butuh asupan gizi biar tahan melek hingga dini hari. Pilihannya, harus cukup logistik di rumah, terutama telur ayam kampung dan susu beruang. Saya lalu membeli 6 kaleng Bear Brand dan 10 butir telur ayam. Doping telur ayam setengah matang itu saya konsumsi 3 hari berturut-turut. Begitupun dengan susu beruang.

Sesuai kesepakatan, draf NA dan Batang Tubuh Ranperda TV Kabel itu pun jadi. Alhamdulillah, saya bisa merampungkan lebih cepat dari jadwal. Dalam tempo 11 hari, draf saya perlihatkan dalam rapat bersama KPID dengan Pemprov Sulawesi Selatan, sebelum diperlihatkan ke Komisi A DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.

Berselang beberapa hari setelah draf awal diserahkan ke Komisi A, Tim Pemrakarsa Ranperda Inisiatif DPRD Provinsi Sulawesi Selatan melakukan kegiatan konsultasi ke Kementerian Komunikasi dan Informatika RI serta ke KPI Pusat di Jakarta, pada 22-24 Februari 2011. Saya ikut dalam kegiatan ini. Saat itu, judul draf Ranperdanya adalah Ranperda tentang Wilayah Layanan Lembaga Penyiaran Berlangganan Jasa Penyiaran Televisi Melalui Kabel di Sulawesi Selatan.

Saya mempersiapkan materi untuk Komisi A, berjudul Ranperda TV Kabel, Solusi untuk Menata Praktik Penyiaran TV Kabel di Sulawesi Selatan. Materi ini dibawakan oleh Ketua Komisi A, Hj Tenri Olle Yasin Limpo. Tenri Olle memaparkan kondisi pertumbuhan TV Kabel di Sulawesi Selatan yang kala itu berjumlah sekira 700an operator. Saya dipersilakan juga berbicara tentang penataan yang sudah dilakukan KPID secara gradual. Persoalannya, ada kekosongan hukum (rechtvacuum) yang bukan menyangkut wilayah kewenangan KPID.

Prof Laudin Marsuni, Tenaga Ahli DPRD Sulawesi Selatan, yang hadir saat itu, memaparkan alasan perlunya Perda lantaran kondisi khusus daerah, di mana setelah adanya Perda, diharapkan akan menyelesaikan masalah. Kementerian Kominfo RI mendukung lahirnya Perda karena akan jadi pilot project dalam menyelesaikan sengkarut TV Kabel di daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Multimedia Indonesia (APMI), tampak bahwa praktik redistribusi siaran yang dianggap ilegal melalui TV Kabel di Indonesia mulai muncul tahun 2002. Praktik itu mula-mula terjadi di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. Tahun 2004, menyebar ke Sulawesi Tengah, lalu ke Gorontalo, tahun 2005. Pada tahun 2006, menyebar ke Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah. Tahun 2007, sudah ada praktik serupa di Sulawesi Utara dan Jawa Timur, kemudian ke Kalimantan Selatan, Jawa Tengah, Riau, dan Kepulauan Riau di tahun 2008. Jambi dan Sumatra Utara, tahun 2009, serta kota-kota lain di Indonesia setelah itu.

Data-data itu diberikan Bambang Prakoso kepada saya, dalam bentuk power point. Bambang Prakoso adalah Kepala Perwakilan PT MNC Sky Vision (Indovision) di Makassar, kala itu. Praktik redistribusi siaran ilegal ini beberapa kali dilaporkan oleh APMI ke kepolisian. Namun terus saja terjadi. Operator TV Kabel tetap saja menjalankan usahanya. Di sinilah dilemanya. TV Kabel mengisi wilayah blank spot yang tidak bisa dijangkau siaran TV free to air. Itulah mengapa, TV Kabel disebut ilegal tapi legitimate. Ilegal dari sisi prosedur dan hak siar, tapi keberadaannya diakui dan dibutuhkan masyarakat.

Kehadiran TV Kabel di Tanah Air bisa dilacak dari strategi Orde Baru dalam mengkomunikasikan hasil-hasil pembangunan ke masyarakat yang tinggal di pelosok-pelosok Nusantara. Pada tahun 1980an, pemerintah membuat kebijakan langit terbuka (open sky policy) karena siaran TVRI tidak mampu menjangkau luasnya wilayah Indonesia. Meski stasiun TV milik pemerintah itu sudah membangun stasiun-stasiun relay di daerah-daerah. Penyebabnya, karena kondisi geografis yang mengakibatkan masyarakat di daerah tertentu terisolasi dari arus informasi pembangunan. Departemen Penerangan (Deppen) dan beberapa pejabat militer bahkan menyediakan antena parabola bagi komunitas-komunitas di pedalaman.

Inilah cikal bakal TV Kabel, yang kemudian terus menjamur. Pada tahun 1980an saja, diperkirakan terdapat 25 ribu antena parabola di Indonesia yang disebut sebagai terbanyak di antara negara-negara Asia. Bisnis TV Kabel bisa merebak karena modalnya relatif murah kala itu. Dengan investasi Rp25 juta sampai Rp50 juta, sudah bisa menarik kabel dari operator ke rumah-rumah warga.

TV Kabel ini, dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, masuk kategori Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Ada tiga klasifikasi LPB ini, yakni melalui kabel, satelit, dan terestrial. TV Kabel ini sering dilaporkan oleh pesaingnya, LPB melalui satelit, sebagai pelanggaran hak siar. Salah satu modusnya, mereka berlangganan TV Satelit tapi kemudian di redistribusi lagi ke rumah-rumah warga yang jadi pelanggannya. Padahal, mestinya mereka hanya sebagai end user.

Di luar masalah itu, TV Kabel memberi manfaat dalam pemenuhan hak masyarakat akan informasi. Mulai dari acara pesta pernikahan, pemutaran video klip lagu-lagu daerah, siaran kegiatan Pemda dan DPRD, serta pertandingan sepak bola, bisa dinikmati karena peran TV Kabel. Berbarengan dengan itu, persoalan etika penyiaran kerap kali terjadi, dan tentu saja, masalah hukum, terutama Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP).

Ketika terbentuk Pansus TV Kabel, 5 April 2011, saya juga sudah terpilih menjadi Ketua KPID Sulawesi Selatan, sejak Februari 2011. Pansus TV Kabel dipimpin oleh Ketua, Hj Tenri Olle Yasin Limpo dan Wakil Ketua, H Zulkifli. Saya ikut saat Pansus studi banding ke KPID Kepulauan Riau (Kepri) di Batam dan ke PT MNC Sky Vision (Indovision) di Jakarta. Saat studi banding ini, saya bisa merasakan fasilitas anggota dewan di Mess DPRD Sulawesi Selatan di Jalan Kaji, Gambir, Jakarta Pusat.

Saya beruntung diberi kesempatan mengikuti hampir semua tahapan penyusunan Ranperda TV Kabel ini, hingga pembahasan pasal demi pasal saat finalisasinya. Di sela-sela itu, saya dan Fadli Andi Natsif kadang bertemu membincangkan progresnya.

Menurut Tenri Olle, ini pengalaman pertamanya dengan Pansus yang selalu lengkap anggotanya, baik saat studi banding maupun dalam rapat-rapat. Berdasarkan catatan notulensi yang saya miliki, dilakukan 11 kali pertemuan, antara lain dengar pendapat dengan pemangku kepentingan dan rapat kerja dengan pemerintah kabupaten/kota.

Setelah melalui proses dan prosedur penyusunan yang panjang, Perda tentang Penyiaran Televisi Melalui Kabel itu akhirnya jadi Perda definitif. Perda ini bersifat mengatur, khususnya soal wilayah layanan, yang merujuk pada rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pengesahan Perda ini menjadi contoh bagi KPID-KPID lain untuk melakukan hal serupa. Kami banyak mendapat kunjungan studi banding setelah itu. Bukan saja dari KPID, tapi juga dari beberapa DPRD, dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Barat.

Ini momen bersejarah bagi KPID Sulawesi Selatan, dan jadi legacy kami. Namun, secara pribadi, saya punya satu momen terbaik, ketika ikut menandatangani dokumen Peraturan Gubernur (Pergub) Sulawesi Selatan Nomor 39 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyiaran Televisi Melalui Kabel. Ketika dokumen Pergub itu diantar ke ruangan saya di lantai 2 kantor KPID Sulawesi Selatan di Jalan Botolempangan No. 48 Makassar, saya meminta Andriansyah, staf operator memotret saya. Tepat pada saat saya menandatangani Pergub itu, pria berkacamata yang akrab disapa Andre itu, memotret saya.

Saya sampaikan ke dia, saya bersyukur karena dokumen Pergub ini, selain ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, juga ada tanda tangan saya: Rusdin Tompo. Tak berlebihan mungkin kalau saya ikut senang karena draf Pergub ini juga saya yang susun. (*)

Gowa, 30 Januari 2023

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles