Sabtu, Mei 4, 2024

Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Apa Urgensinya?

Sukardi Weda
Guru Besar Universitas Negeri Makassar
& Alumni S2 Politeknik STIA LAN Makassar

Mengawali tahun 2023 banyak isu yang menjadi trending topic hingga hari ini, mulai dari penculikan anak, isu aliran sesat, sistem proporsional tertutup pada Pileg 2024, dan yang terkini adalah isu seputar perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 (enam) tahun menjadi 9 (Sembilan) tahun.

Tepatnya 17 Januari 2023, ratusan kepala desa (Kades) yang tergabung dalam PAPDESI (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) melakukan aksi unjuk rasa di depan pintu gerbang gedung DPR RI menuntut perpanjangan masa jabatan. Para demonstran kepala desa tersebut juga membentangkan sepanduk bertuliskan “Kepala Desa Indonesia Bersatu, Prolegnas Sekarang Juga, 9 Tahun Harga Mati, Partai tidak Mendukung Habisi.”

Berselang lebih sepekan, tepatnya 25 Januari 2023, sekitar 100.000 perangkat kepala desa geruduk gedung DPR RI menuntut hal yang sama, yaitu menuntut revisi Pasal 39 Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2015. Pasal 39 Undang – Undang Desa tersebut, berbunyi (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut – turut atau tidak secara berturut – turut.

Isu perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades) tersebut menuai polemik di tengah publik, ada yang mendukung, tidak sedikit yang menolak. Yang menolak berkata bahwa 6 tahun bukan waktu yang pendek, apalagi masih dapat dipilih kembali dengan 2 kali masa jabatan.

Yang mendukung mengatakan bahwa 6 tahun masa jabatan adalah waktu yang singkat untuk mewujudkan janji – janji atau visi saat kampanye kepala desa. Bayangkan saja kalau Kades menjabat 3 periode berarti Kades akan memimpin desanya selama 18 tahun dan ini bukan waktu yang singkat, apalagi kalau 9 tahun dan menjabat selama 3 periode, maka Kades memimpin desanya selama 27 tahun.

Pro – kontra pun mengemuka di publik, ada yang berpendapat melalui tulisan di media, ada pula yang berargumen melalui diskusi di warung kopi, tidak sedikit yang berpandangan melalui diskusi publik dengan menghadirkan pakar bahwa perpanjangan masa jabatan Kades adalah memangkas rasa keadilan dan kaderisasi warga desa untuk membangun desanya. Menutup kesempatan bagi generasi muda potensial untuk menjadi pemimpin di desanya. Sedangkan yang kontra berpendapat bahwa berikanlah waktu yang cukup kepada Kades untuk mewujudkan program kerja yang telah ia janjikan saat kampanye, dan menurutnya 6 tahun masa jabatan, adalah waktu yang sangat singkat untuk merealisasikan janji – janjinya saat kampanye.

Menanggapi tuntutan perpanjangan Kades tersebut, beragam respon pun datang, baik dari elit partai politik, masyarakat sipil, penggiat NGO, media, akademisi, pengamat, dan masyarakat pinggiran, tak terkecuali para penikmat kopi di warkop – warkop pinggir jalan dan pos – pos ronda. Hasto Kristiyanto, yang juga Sekjen PDIP mengatakan partainya telah menentukan sikap dalam Kongres V tentang stabilitas pemerintahan di tingkat desa. PDIP juga tidak keberatan jika masa jabatan Kades diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9 tahun, tetapi hanya untuk dua periode saja.

Pendapat Hasto Kristiyanto turut diamini oleh Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin Iskandar, yang juga Ketua Umum PKK, ia mengatakan bahwa partainya mendukung usulan penambahan masa jabatan Kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Lain halnya dengan PKS, melalui salah satu anggotanya, yang juga sedang duduk di Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera merespons ancaman Kades yang hendak menghabisi suara parpol jika tak mendukung perpanjangan masa jabatan Kades menjadi 9 tahun.

Menurutnya, peran desa sangat penting untuk memajukan Indonesia dan DPR perlu merumuskan desa sebagai basis teknokrasi bukan basis politis, supaya perangkat desa dipimpin oleh orang – orang yang kapabel dan bebas dari kepentingan politis. Dia lalu menambahkan bahwa, kondisi 6 tahun sekarang sudah ideal (CNN Indonesia, 2023).

Senada dengan PKS, M Nur Ramadhan, yang juga peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan bahwa wacana perubahan masa jabatan Kades dari 6 menjadi 9 tahun dalam satu periode bertentangan dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam prinsip negara hukum. Menurutnya, masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu (CNN Indonesia, 2023).

Melalui channel Youtube-nya, bertajuk “Tidak Masuk Akal! Kepala Desa Menuntut Perpanjangan Masa Jabatan Menjadi 9 Tahun,” Dr. Andi Alifian Mallarangeng, yang juga pakar ilmu pemerintahan sekaligus salah satu pengamat politik adiluhung negeri ini, turut berkomentar bahwa perpanjangan masa jabatan Kades adalah sesuatu yang aneh.

Usulan ini sebenarnya tidak mencerminkan tujuan awal reformasi, bahwa Undang – Undang Desa telah dibuat pada tahun 2014 dan di situ sudah jelas bahwa Kades memegang jabatan selama 6 tahun, jadi jabatan kepala desa ini sudah luar biasa. Bolehlah masa jabatan selama 3 periode dengan masa jabatan 6 tahun kalau di desa itu kesulitan mencari pemimpin di desa, maka bolehlah 3 periode.

Kades berbeda dengan lurah. Lurah tidak dipilih oleh masyarakat tetapi dipilih secara langsung oleh bupati atau walikota. Sebaliknya Kades dipilih oleh masyarakat melalui pemilihan kepala desa. Lalu apa urgensinya, para Kades datang ke DPR menuntut perpanjangan masa jabatan, dan ini adalah tuntutan yang tidak masuk akal.

Mari berpikir dengan sudut pandang warga desa, kalau seorang warga desa melihat Kadesnya, mulai dari tindakannya, kebijakannya, kepemimpinannya, perilaku kekuasaannya tidak pas, dan warga desa melakukan perubahan kepemimpinan di desa, sehingga pemerintahan desa berjalan lebih baik, maka dia harus menunggu selama 9 tahun, kecuali Kades melakukan pelanggaran – pelanggaran tertentu yang menyebabkan Kades bisa diberhentikan, dan bila Kades itu terpilih kembali, maka menjadi 18 tahun, dan kalau terpilih lagi pada periode ketiga, maka dia memerintah selama 27 tahun.

Terlalu lama, bagi orang lain untuk melakukan perubahan dan kalau itu terjadi dapat terjadi pemberontakan di desa, dan tidak ada perubahan dan pergantian, menunggunya terlalu lama 9 tahun, 18 tahun, dan 27 tahun. Itulah sebabnya ini semua adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan harus ditolak.

 

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles