KATADIA, MAKASSAR || Begitu memasuki Artmosphere, tempat Pameran Seni Rupa Revolusi Esok Pagi, mata saya langsung tertuju pada kuburan bernisan badik. Posisi kuburan yang dicorat-coret grafiti itu, letaknya tak jauh dari meja registrasi, tempat Alif Aflah Yafie, Ketua Pameran, duduk.
Suasana kuburan kian terasa karena di pusaranya ada daun pandan dan bunga-bunga yang ditabur, layaknya pusara di kompleks pemakaman. Kuburan ini merupakan karya instalasi bergaya pop art hasil kreasi Iswan Bintang. Lewat karya berjudul “Inevitability”, perupa hendak mengingatkan bahwa kematian itu suatu keniscayaan.
Alif menemani saya melihat satu demi satu karya yang ditata dalam Armosphere Gallery yang berada di Jalan Abdullah Daeng Sirua Lorong 8, Kelurahan Masale, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, 27 Mei 2024. Dia mengatakan, pameran sudah dimulai sejak Minggu, 26 Mei, dan akan berakhir pada Kamis, 30 Mei 2024.
Pameran dibuka oleh Prof Karta Jayadi, selaku Pembina Dewan Kesenian Sulawesi Selatan (DKSS). Prof Karta Jayadi merupakan Rektor Universitas Negeri Makassar (UNM), periode 2024-2028. Ada 20 perupa, 1 kelompok teater boneka, dan 1 penulis puisi yang menjadi peserta pameran ini.
Saya menyampaikan, nama pameran yang sudah memasuki penyelenggaraan ke-5 ini, sangat puitis: Revolusi Esok Pagi. Namun, setelah mencermati karya-karya para perupa yang lintas generasi, terasa bahwa karya mereka bukan saja puitis, tapi juga filosofis, reflektif, dan tentu saja sangat kritis merespons situasi aktual.
Sesuai tema pameran tahun ini, Anomali, tergambarkan pada karya-karya para perupa. Zamkamil mengetengahkan karyanya, “Karang”. Di antara empas gelombang dan ombak, ada orang yang lebih memilih menjadi karang, yang tetap kokoh berdiri.
Anomali, dalam kuratorial yang dibuat oleh tim, dan dipajang pada salah satu sisi ruang pameran, dijelaskan sebagai penyimpangan, kekeliruan, distorsi, pemutarbalikan, abnormalitas, perbedaan, divergensi, inkonvensional. Anomali merupakan turunan dari kata Yunani, “anomalos”, yang berarti tidak beraturan atau bisa juga berarti tidak genap alias ganjil.
Anomali juga terasa pada karya Komets, berjudul “Minor Bebas”. Lelaki yang menyebut dirinya film maker itu bermain set dengan menampilkan sejumlah perabotan rumah tangga. Piring, wajan, panci dll bergelantungan melayang di atas meja makan. Sementara simbol kesedihannya dibiarkan tersembunyi di kolong meja. Ada tulisan “Demokrasi RIP”.
Begitu melihat karya ini, saya berseloroh, layaknya suami-istri yang berantem sambil baku lempar. Dengan tersenyum, Komets mengiakan. Dia juga menampilkan lukisan dan karya interaktif, di mana pengunjung bisa menulis kesan dan pesan pada piring-piring stirofoam.
Konflik diri juga hadir dalam karya “Ketidakstabilan Status Makna” milik Rahmat Polanagau. Sementara gejolak rasa yang lebih menyayat terlihat pada karya “Pertempuran Malam” oleh AH Rimba. Rimba menyadari, kalau hidup harus terus berlanjut dan biarlah masalah tetap sebagai misteri.
Jenry Pasassan, lain lagi. Karyanya, “Distract The Mind” menggambarkan anomali secara karikatural, yakni seekor babi kurus, menelan sekumpulan gajah. Sahabatnya, Faisal Syarif menyuguhkan “Alegori”, yang visualisasinya berupa siluet.
Sementara Rahmat Muchtar melalui karyanya “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menggambar potongan-potongan tubuh, yang mengalami keganjilan ekstrim. Di balik itu, ia hendak berpesan agar tetap fokus pada aspek paling mendasar dari eksistensi kita, yakni kemanusiaan.
Anomali bagi Arnold Fertao tidak dimaknai secara negatif. Dia bahkan meresponsnya dengan tertawa. Lihat saja karyanya “wKwKwK… Prrrueee… wKwKwK “. Rasul Rappung mengekspresikan anomali dalam karya “Misteri Wajah”. Wajah manusia memang memiliki daya tarik, sekaligus mencerminkan kompleksitas manusia itu sendiri.
Yang agak beda ditampilkan Hikma Fajar, dalam “Normal/Abnormal”. Dia tampilkan dua potret dalam satu bidang, tapi masih satu karakter.
Bagi Firmansyah, setiap keadaan sebaiknya diterima dengan cara kita mampu beradaptasi, sehingga tercipta harmoni. Itulah “Positif Thinking”, yang dia gambarkan berupa dua tangan yang saling berseberangan. Namun tetap berupaya menggapai, saling menyapa dan hendak bersalaman.
Tak cuma karya perupa, ada pula Kika dengan kelompoknya Cloud House Puppet, yang unjuk rasa dalam pentas teater boneka bertajuk “NITI”. Kika seperti memutar jarum waktu, memprotes dan menggugat keadaan jugun ianfu, korban perbudakan seks zaman Jepang di Indonesia, yang hingga sekarang tak kunjung mendapatkan keadilan.
Muhlis Lugis menampilkan munculnya anomali pada sosok pemimpin, yang menjelma sebagai monster rakus, dan pikirannya hanya berkutat pada uang. Muhlis menjulukinya sebagai “Transaction”, terlihat di kepala dengan simbol dollar pada otaknya, mulut dan sekitarnya.
Kemudian Afif Rofii dalam “Mentah Karsa Oligarki”, menganalogikan oligarki sebagai pengendali pemerintah yang ia lambangkan dengan pion catur. Fadly Saleh memaparkan kebobrokan penguasa pada perusakan lingkungan dan penggusuran dalam lukisan berjudul “Sang Penguasa”.
Tema kerusakan lingkungan juga diperhatiankan oleh Ikbal Saidin Akbar, dalam “Lestari”. Ikbal menegaskan isu lingkungan dengan menambahkan pesan, “Stop Climate Meltdown”.
Fasli Kadir lewat karyanya, “Man And A Tree” mengasosiasikan orang yang ingin menonjolkan dirinya dengan menciptakan kontradiksi dan penyimpangan. Aad Mandar menampilkan segala yang bergerak di dalam atau di luar diri sebagai energi yang perlu terjaga dan terpelihara. Karya yang mengimbau agar kita selaras dengan alam itu diberi judul “Bertumbuh”.
“Belantara Rumah” merupakan karya Muhammad Suyudi yang berkisah tentang proses kehidupan manusia, yang terkadang tidak mengenal dirinya, apalagi tuhannya. Guf Tawakkal dalam karya “Fokus Bermimpi”, menilai manusia kerap terjebak mimpi-mimpinya dan melupakan kehidupan nyata.
Ledy Kadang dengan karyanya “Inside The Beauty”, memilih potret dan riwayat seniwati Meksiko, Frida Kahlo sebagai pesan karyanya. Perempuan dengan kegetiran sepanjang hidupnya itu, oleh Ledy direkontruksi dengan pecahan cermin yang dikomposisikan pada bagian wajah.
Saya ditanya oleh Jenry Pasassan, apa tanggapan saya terhadap pameran yang barusan saya saksikan. Saya jawab, secara visual, indah dan menarik, terlepas dari pesan-pesan yang mau disampaikan oleh masing-masing perupa. Walau diakui Jenry, apa yang dilakukan masih berupa pengulangan.
Terlepas dari itu, pameran seni rupa Revolusi Esok Pagi #5 bertema Anomali ini layak diapresiasi. Pertanda, pertukaran ide dan gagasan hidup di antara para perupa. Juga para perupa hendak mengkomunikasikan kreatvitas dan ekspresi seninya kepada publik, penikmat seni di Kota Makassar. (*)