Kamis, April 25, 2024

JURNALIS dan RESIKO HUKUM

PAKAR hukum pidana Asst Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, SH. MH. CPCLE mengatakan, Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE), tidak tepat untuk digunakan ‘menjerat’ jurnalis dalam kasus pemberitaan sehingga dibawa ke ‘meja hijau’.

Wartawan harus diperhadapkan dengan konsekuensi UU Nomor: 40 Tahun 1999; Tentang Pers. Pernyataan ini menurut hemat saya sangat tepat, karena memberikan penghormatan pada kedudukan UU 40/1999. Juga penghormatan pada profesi.

Di bilik grup media sosial WhatsApp alumni Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Hasanuddin (UNHAS), Guru Besar Ilmu Komunikasi, Prof. Dr. Hafied Cangara, menuliskan “Bersama Dewan Pers RI semakin memperkuat apa yang dikatakan oleh Seno,

“Kebusukan politik yang tertutup rapi tidak akan terbongkar oleh jurnalis yang sama busuknya.” Perlawanan terberat adalah perlawanan dengan masyarakat yang tidak percaya lagi dengan jurnalis. Jadilah jurnalis yang kompoten dan tolak uangnya, lanjutnya.

Upaya untuk membangun sistem pers Indonesia yang baik, dalam pikiran saya, yang dimaksud dan dituju adalah sistem Pers Pancasila, seorang jurnalis memiliki persaudaraan kuat pada kelima sila.

Tanpa kode etik, kelima sila dalam Pancasila telah menjadi pemandu bagi seorang jurnalis untuk sampai pada kesempurnaan dalam bersikap dan berkarya.

Adapun kehadiran UU 40/1999, juga ‘Kode Etik Jurnalistik’ atau ‘Kode Etik Wartawan Indonesia’ (KEWI) bersifat menjelaskan secara lebih teknis untuk pencapaian kesempurnaan menuju Pers Pancasila.

Lex Specialis UU 40/1999 tentang: Pers, dikuatkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 tahun 2008 dan Memorandum of Understanding (MoU) Polri dan Dewan Pers dengan demikian, pada peristiwa hukum yang menimpa jurnalis yang di jerat UU ITE sangat tidak tepat.

Namun pada praktiknya tetap saja ada jurnalis yang harus berurusan dengan penyidik kepolisian. Perbincangan saya dengan Kapolres Luwu, pekan kemarin saya berpesan agar pihak kepolisian terus membuka seluas mungkin ruang dialog guna penyamaan persepsi dan interpretasi pada UU 40/1999.

Bagaimana dengan sertifikasi wartawan?, Prof. Seno, menuliskan; “Dalam persidangan menerangkan, bahwa sertifikat kompetensi wartawan tidak bisa menjadi parameter untuk menyatakan seseorang tidak berkompeten dalam kerja-kerja jurnalistik.

“Sertifikasi itu prosesnya panjang, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dan juga perlu diuji.” Sertifikasi memang menjadi wajib jika seorang wartawan akan dipersiapkan menjadi pemimpin redaksi.

Sertifikasi menunjukkan kompetensi yang telah teruji, bukan sekadar kemampuan menulis. Sekalipun dalam pemikiran saya memimpin media bukan pekerjaan mudah, sehingga tuntutan kompetensi kian meluas.

Kembali ke pernyataan Prof. Seno “Belum tentu yang tidak bersertifikat tidak berkompetensi, itu hanya formalitas. Sekali lagi, sertifikat tidak menggugurkan kedudukannya sebagai seorang jurnalis yang bekerja di perusahaan berbadan hukum,” ujar Seno.

Begitu juga dengan perusahaan media yang belum terverifikasi secara administrasi dan faktual oleh Dewan Pers. “Terverifikasi atau tidaknya sebuah media tidak menggugurkan statusnya sebagai perusahaan pers berbadan hukum.

” Hal ini menyebabkan dalam berbagai pelatihan saya atas nama Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT), Jurnalis Online Indonesia (JOIN), mendorong Notariat (badan hukum usaha).

 

Watampone 12 Februari 2022
Zulkarnain Hamson

 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles