Sabtu, April 27, 2024

CATATAN SEPANJANG JALAN: Identitas dan Sejarah Kota

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Provinsi Sulawesi Selatan)

Jalan tak hanya punya nama tapi juga kenangan. Begitulah jika kita menyimak lirik lagu “Sepanjang Jalan Kenangan”, yang dinyanyikan penyanyi era 70-an, Tetty Kadi. Tapi, jalan-jalan di kota tak hanya terkait dengan kenangan cinta romansa semata, lebih dari sekadar kisah dua anak manusia. Kenangan tentang jalan-jalan di kota berkaitan dengan sejarah kota itu, sejarah suatu bangsa, bahkan sejarah manusia dan peradabannya.

Karena itu, berbicara tentang nama-nama jalan kota, bukan perkara gampang, bukan asal patok nama jalan atau asal semprot plang nama. Idealnya, penamaan suatu jalan punya pedoman, punya aturan. Nama jalan, apalagi yang punya kaitan dengan nama-nama tokoh tertentu, pasti punya kaitan dengan konteks peristiwa dan punya argumentasi tertentu, mengapa nama itu disematkan. Tapi, justru di sinilah masalahnya.

Prof. Jimly Asshiddiqie (www.hukumonline.com) mengatakan, pola penamaan jalan di seluruh Indonesia sejauh ini belum jelas. Sehingga kerap dilakukan dengan cara berbeda-beda. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan bahwa di seluruh Indonesia tak ada aturan pola penamaan jalan. Di beberapa tempat, penamaan jalan bergantung pada walikota, di tempat lain ditentukan oleh gubernur. Ada juga yang mesti melalui proses izin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terlebih dahulu dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).

Berkaitan dengan penyematan nama seseorang sebagai jalan, bisa diusulkan oleh perseorangan, oleh kelompok organisasi, atau inisiatif Pemda sendiri, seperti yang diberlakukan di DKI Jakarta. Yang dimaksud seseorang itu bisa merupakan pahlawan, tokoh-tokoh dari daerah bersangkutan, atau tokoh dari kisah-kisah hikayat masa lalu.  Dalam beberapa kasus, nama-nama jalan tak berkaitan dengan nama orang tapi diberikan oleh perusahaan pengembang yang membangun suatu kawasan perumahan.

Jadinya, nama-nama jalan tersebut terkesan seenaknya diberikan. Yang penting terlihat mentereng karena padanya dilekatkan nama-nama berbau “asing”. Bukan saja lantaran menggunakan bahasa asing tapi benar-benar terasa “aneh” saat dilafalkan oleh lidah orang Indonesia.

Kata “jalan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisa berarti tempat untuk lalu lintas orang (kendaraan dan sebagainya), perlintasan (dari suatu tempat ke tempat lain), yang dilalui atau dipakai untuk keluar masuk, bisa pula diartikan gerak maju atau mundur (tentang kendaraan). Sementara Wikipedia mendefinisikan jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

Betapa luasnya makna jalan itu. Belum lagi, pengkategorian jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. Sedangkan, Jalan khusus adalah jalan yang dibangun oleh instasi, badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat untuk kepentingan sendiri.

Maka, tak boleh serampangan memberi nama jalan. Sebab, di situ juga ada sejarah kota, sejarah suatu negara. Yang paling kita ingat adalah pembangunan jalan raya di Jawa, tahun 1808-1810, oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36. Jalan raya bersejarah itu membentang sepanjang 1.000 kilometer dari Anyer (Banten) hingga Panarukan (Jawa Timur). Pembangunan jalan raya ini merupakan bagian dari kebijakan Daendels di bidang pertahanan untuk mendukung mobilitas militer, terutama menjaga pos-pos pertahanan penting di sepanjang pantai utara Jawa (Prakitri, 2006).

Belakangan, pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) tersebut tidak hanya memberikan keuntungan di bidang militer saja, tetapi membawa arti penting bagi mobilitas ekonomi, sosial, bahkan politik. Berkat kehadiran jalan ini, semakin banyak produk kopi dari pedalaman Priangan bisa diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu. Dampak lainnya, transportasi menjadi semakin mudah dan lancar. Jarak waktu antara Surabaya-Batavia yang biasanya ditempuh selama 40 hari, bisa dipersingkat menjadi hanya 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang dikelola oleh dinas pos (Wikipedia.com). Karena itulah, nama jalan raya proyek Daendels ini dikenal dengan sebutan “jalan raya pos” (Kompasiana.com).

Nyata bahwa jalan menjadi penanda dinamika politik suatu negara, termasuk dari segi kebahasaan. Silahkan melihat cara penulisan nama jalan pada masa penjajahan Belanda. Sudah pasti nama-nama jalan mengikuti maunya mereka. Di Makassar, misalnya, ada Hospital Weg, yang sekarang menjadi Jl. Jend. Sudirman, ada pula Hooge Pad, sekarang berganti nama menjadi Jl. Jend. A. Yani. Penamaan nama-nama dari para pelaku sejarah ini, sebagai pengganti nama-nama berbau kolonialisme, tentu juga punya sejarahnya sendiri. Kita tergelitik untuk mengajukan pertanyaan, tanpa bermaksud menggugat, mengapa pada setiap jalan protokol menggunakan nama Panglima Besar Jenderal Sudirman?

Sebelum cara penulisan nama jalan seperti sekarang, penulisan nama jalan mengikuti Ejaan Lama (Ejaan Van Ophuijsen), contohnya penulisan nama/kata yang menggunakan huruf “j” dibaca “ye”, sedangkan penulisan huruf “oe” dibaca “u”. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda. Prof. Charles Van Ophuijsen adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda. Beliau yang melakukan pembakuan ejaan bahasa Indonesia pertama kali di tahun 1901, dan dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim.

Ini membuktikan, penulisan nama jalan berubah sesuai kebijakan bahasa saat itu. Pada tahun 1947, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, Soewandi, menetapkan perubahan ejaan bahasa Indonesia supaya ejaan yang berlaku lebih sederhana. Ejaan baru itu, oleh masyarakat kemudian diberi julukan Ejaan Republik. Selanjutnya, muncul Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dipegang oleh Mashuri. Ejaan ini diresmikan pada hari Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Keppres Nomor 57 Tahun 1972. Tentu saja, sejak itu penulisan nama-nama jalan mengikuti ketentuan EYD. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu dengan mengganti nama jalan di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.

Dari segi dinamika perkembangan kota juga mempengaruhi pemberian nama jalan. Dalam buku “Pedoman Kota Besar Makassar” (1954), misalnya, sejumlah lorong di sepanjang Jl. Veteran berganti status menjadi jalan, seperti Lorong 22 menjadi Jl. Kidjang, Lorong 1 menjadi Jl. Kelintji, dan Lorong 71 berubah menjadi Jl. Mairo.

Demi penataan kota yang lebih teratur, Walikota Makassar, H. Muhammad Daeng Patompo (1967-1978), membuat nama jalan atas 17 (tujuh belas) kelompok nama, mulai dari nama bunga-bungaan/tumbuhan, unggas, ikan, pulau-pulau hingga nama-nama pahlawan. Walikota visioner itu juga membuat nama-nama jalan dengan menggunakan istilah bahasa daerah yang memiliki makna positif, seperti Jl. Baji Ati, Jl. Baji Areng, Jl. Baji Dakka, Jl. Baji Gau, dan lain-lain.

Pada era walikota-walikota Makassar selanjutnya juga ada pergantian nama jalan. Misalnya, pada masa pemerintahan Ilham Arief Sirajuddin, nama Jl. Racing Center berganti menjadi Jl. Prof. Dr. Basalamah. Dinamakan Jl. Racing Center, karena pada tahun 1983, di kawasan ini dibangun arena balapan go kart pertama di timur Indonesia. Perubahan ini merujuk pada Keputusan DPRD Kota Makassar No.16/XII/2006. Penggantian nama jalan tersebut, menurut Prof. Mansyur Ramly, untuk mengenang jasa mendiang mantan Ketua Yayasan Badan Wakaf dan Rektor UMI, Prof Basalamah. Basamalah termasuk inisiator yang membuka kawasan rawa di kampung Karampuang, Kecamatan Panakkukang, untuk membangun Kompleks Perumahan Dosen UMI (www.makassar. tribunnews.com).

Perubahan terhadap nama jalan, juga harus ditempuh lantaran beban stigma sosial yang ditanggung berkaitan dengan praktik tercela yang terjadi di kawasan itu. Seperti rencana Walikota Makassar, Moh. Ramdhan Pomanto, yang hendak mengganti nama Jl. Nusantara dengan nama yang dinilai bisa mengubah imej atas kawasan lampu merah tersebut. Maklum, Jl. Nusantara punya konotasi dan reputasi sebagai kawasan prostitusi. Sehingga, area di bibir pelabuhan laut Soekarno-Hatta ini akan disulap menjadi pusat wisata kuliner.

Jalan menunjukkan kelas sosial, menunjukkan siapa yang menetap di sana. Kita bisa menerka apakah seseorang berasal dari daerah pinggiran atau permukiman elite dari alamat rumah yang disebutnya. Jika seseorang menunjuk alamat rumahnya di jalan-jalan dalam kawasan Panakkukang Mas, tahulah kita seperti apa kelas sosialnya. Dari nama-nama jalan itu pula, kita bisa melacak pekerjaan dan aktivitasnya. Apakah ia pegawai kantoran dengan seragam PNS, atau pegawai swasta dan sekadar “maaf” pekerja kasar. Jika Anda tinggal di Makassar, Anda tentu mengenal kawasan perkantoran dan kawasan perdagangan bahan bangunan.

Maka perlu penataan yang lebih tertib terhadap nama-nama jalan itu di Kota Makassar. Cara penulisan yang benar dan lengkap, sebagaimana seharusnya. Apalagi jika itu terkait nama orang, yang kita kenal sebagai pahlawan, yang punya bobot ketokohan. Penataan yang tertib bukan hanya berkaitan dengan aspek administrasi dan estetika kota tapi juga akan memudahkan pencarian alamat.

Orang-orang yang mengunjungi suatu kota, terutama mereka yang datang sebagai wisatawan, akan sangat terbantukan jika jalan-jalan ditata apik. Tertib penulisan nama jalan, mesti dibarengi dengan pemberian pengetahun yang memadai terkait nama-nama itu. Dan itu, bisa dilakukan melalui pendokumentasian oleh mereka yang bertugas di bagian arsip agar setiap orang sadar terdapat catatan-catatan penting di balik suatu nama jalan. Hal ini penting segera dilakukan agar kita tidak dicap sebagai bangsa dengan ingatan yang pendek. []

*) Tulisan ini merupakan kata pengantar pada buku “PLANG: Cerita di Balik Nama Jalan di Makassar” karya Muhammad Nasrul (MediaQita Foundation, 2018)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles