Kamis, April 25, 2024

Mahasiswa Konflik dan Agresifitasnya

Anugerah Amir, SS. M.I.kom.
Ka. LPMI Politeknik LP3I Makassar

Beberapa hari ini saya terkejut dengan sebuah pemberitaan yang begitu massif tersebar di jagad maya  warna-warni sosial media di kota Makassar tentang sebuah konflik antar sesama manusia yang mengakibatkan luka fisik dan luka sosial yang menurut saya cukup dalam untuk kita sama-sama obati,

Padahal sebenarnya bahkan di media mainstream pertelevisian pun kita sering kali melihat begitu di luar nalarnya tindakan seseorang terhadap orang lain bahkan untuk hal sepele pun terkadang seorang manusia bertindak di luar nalar kemanusiaannya.

Namun kali ini, bahkan untuk kesekian kalinya kita kemudian terkejut lagi dan memang menurut saya kita harus terkejut sebab masyarakat yang kita anggap lebih kuat mengedepankan nalar berfikirnya justru bertindak jauh di luar nalar, artinya jika kitapun tidak terkejut dengan pemberitaan seperti itu maka kemungkinan kita sudah mengidap patologi sosial yang cukup akut.

Meski demikian satu hal yang sepatutnya kita syukuri bahwa masyarakat kita sebagian besar masih terkejut yang artinya keterkejutan kita, jika itu benar-benar original maka boleh kita berasumsi bahwa masyarakat kita masih pada nalar yang normal.

Tindakan kekerasan yang terjadi melibatkan manusia dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang baik itu dari sudut pandang bentukan individu secara internal dimana manusia memiliki energi internal yang terakumulasi pada satu tempat di bagian syaraf manusia dan energi internal yang dimiliki manusia tersebut secara terus menerus menumpuk lalu kemudian pada satu titik tertentu dimana energi tersebut mencapai volume dimana dia harus tersalurkan maka akan tercipta ledakan yang turunannya adalah tindakan, tindakan inilah yang kemudian bisa berupa hal yang destruktif antar sesama atau bahkan bisa pula destruktif terhadap diri sendiri (Konrad Lorenz).

Menurut Lorenz ini bahwa terkadang meskipun tanpa rangsangan atau stimuli terhadap tindakan kekerasan oleh seseorang terhadap orang lain hal tersebut bisa terjadi sebagai akibat dari penumpukan energi internal yang membutuhkan kanal untuk tersalurkan, begitu mungkin perumpamaannya.

Mahasiswa yang sebagian besar kita sepakat bahwa mereka hidup dalam sebuah masyarakat ilmiah yang mengedepankan tindakan-tindakan nya berdasarkan kajian-kajian rasionalitas terhadap realitas sosial dimana mereka terbentuk secara komunal semestinya mendapatkan kanal yang baik untuk melepaskan energi internalnya yang secara alamiah dan terus menerus bertumbuh dan berkembang.

Agresifitas yang dimiliki mahasiswa tentu banyak dipengaruhi oleh keterlepasannya dari pengawasan langsung oleh orangtuanya atau orang terdekat yang memiliki kewenangan dan kekuasaan alamiah untuk menentukan, mengarahkan dan menyusun kerangkan kanal saluran energi agresifitas yang dimilikinya, dan disaat usia yang kita anggap kematangan menentukan diri pada kenyataannya justru menjadi momentum anak-anak muda ini mendapatkan stimuli atau pendorong energi agresifitas yang terkesan liar tanpa koridor atau kanal keterkaitan dengan keberpihakan terhadap kasih sayang dan empati terhadap rasa sakit yang kemungkinan akan dialami oleh orang terdampak atas letupan energi agresifitas tak terkendali tersebut.

Salah satu pembahasan menarik melihat kejadian yang selalu menjadi pemberitaan dunia mahasiswa ini mari kita melihat ini sebagai sebuah fenomena antusiasme militan yang merupakan bentuk khusus dari sebuah agresi komunal, yang jelas sedikit berbeda secara fungsional dengan agresi individual yang kadang terjadi antara pasangan sexual seperti BDSM pada umumnya. Agresi komunal merupakan “aturan-aturan suci” yang memiliki kekuatan penggerak pola prilaku yang tersusun secara filogenetik.

Bahwa tidak diragukan lagi kalau antusiasme militan berkembang dari respon pertahanan komunal warisan leluhur pra-manusia kita. Ini yang menghinggapi sehingga sebuah kelompok selalu berusaha mempertahankan diri atau mungkin memiliki hasrat dengan dorongan agressif untuk membuktikan diri sebagai yang terbaik.

Dari sudut pandang yang berbeda, di era sibernetik saat ini, sebagian kelompok manusia kemudian menjadi semakin rentan terhadap manipulasi, sebagian dari waktu yang kita miliki, konsumsi kita, bahkan sampai profesi, kemudian termanipulasi oleh iklan atau pandangan-pandangan bermuatan propaganda, idelogi atau bisa disebut conditioning.

Hal ini tentu memposisikan anak-anak muda yang kita sebut mahasiswa ini masuk kedalam ruang-ruang yang membuat diri mereka sendiri tanpa sadar menjadi obyek yang kemudian membuat mereka kian menyadari bahwa perilaku, tindakan, pemikiran atau bahkan perasaan yang tidak sesuai dengan tatanan sosial atau pengkondisian jaman yang dianggapnya kemudian telah mereduksi peran mereka dalam upaya mendorong produktifitas manusia kemudian berubah menjadi produktifitas mesin dan robot.

Dengan demikian maka propaganda-propaganda tersebut membuat diri anak-anak muda ini sulit menjadi diri mereka sendiri dan harus terkondisikan oleh kebutuhan jaman dan dibentuk oleh pemilik kewenangan.

Secara samar kemudian mereka menyadari ada ketakutan akan masa depan, kebosanan yang muncul karena perasaan ketidak bermaknaan diri atas apa yang mereka kerjakan, mereka terkadang bahkan merasa bahwa tauladan-tauladan yang mereka idealkan telah kehilangan pijakan dalam realitas sosial. bahkan sampai ketakutan untuk hidup lebih lama diatas neraka isolasi dan manipulasi abad sibernatik yang sering kita sebut digitalisasi, hal ini bukan berarti tidak menerima kemajuan jaman dengan berbagai perangkat teknologi digital yang seyogyanya menjadi kemudahan hidup dalam menata masa depan manusia.

Pendekatan humanistik yang terbuka pada setiap perbedaan dan kebaruan-kebaruan jaman harusnya menjadi pencerah-pencerah bagi para anak-anak muda ini untuk lebih optimis melihat jaman, membuka berbagai peluang ditengah-tengah rahmat perbedaan, mendorong hasrat kolaborasi internal maupun di luar komunitas masing-masing.

Salah satu ciri ketangguhan sebuah bangsa dalam era keterbukaan global adalah kemampuan untuk menerima segala kerumitan perbedaan menjadi sebuah kolaborasi yang indah dalam sebuah simponi kehidupan untuk kemajuan dan kebanggan bersama. Produktifitas mahasiswa sebagai kaum terpelajar harus bertransformasi menjadi bagian dari kemajuan masyarakat itu sendiri.

Disaat masyarakat sudah tidak lagi mengandalkan sekolah-sekolah dan  kampus-kampus sebagai tempat bertransformasinya sumber-sumber pengetahuan dari teoritik turun kedepan bentuk praksis dimana mereka sudah bisa mengakses semua sumber-sumber informasi dan pengetahuan melalui kanal internet tanpa batas maka disaat itu pula rakyat tak lagi membutuhkan agen-agen perubahan sosial, maka sebaiknya mahasiswa yang selalu kita dengar menjadi the agent of social change kembali ke kampus masing-masing, ke laboratorium masing-masing untuk mengembangkan formula-formula baru tatanan kehidupan masa depan manusia melalui riset-riset ilmiahnya. Selamat belajar mahasiswa, selamat bereksperimen dan segera tinggalkan segala bentuk tindakan-tindakan bar-bar yang merendahkan harkat dan martabatmu.
Terima kasih.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles