Jumat, Januari 24, 2025

Bertemu Sa’adiah Lanre Said, Penulis Buku “Kenapa Allah Nggak Kelihatan, Ma?”

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator SATUPENA Sulawesi Selatan)

“Buku ini sejatinya bukan semata-mata tentang dunia anak-anak. Tapi buku pedoman bagi kita, para orangtua, agar mampu memperkenalkan ajaran agama secara lebih ringan namun tertanam dalam.”

Kutipan ini merupakan kalimat yang saya buat sekira 6 tahun lalu, ketika diminta memberi endorsement untuk buku berjudul “Kenapa Allah Ngga Kelihatan, Ma?” Buku kategori islamic parenting ini ditulis oleh Sa’adiah Lanre Said, pengajar dan pengasuh pesantren yang dikenal sebagai sosok multitalenta.

Buku yang semula merupakan diary Sa’diah di Facebook ini, menceritakan pengalaman penulisnya kala berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak pertamanya, Fayyez Muhammad Said –lahir tahun 2006, bertepatan dengan Piala Dunia di Jerman.

Selain saya, ada nama-nama tokoh yang memberikan endoraement untuk buku tersebut, yakni Munif Chatib, penulis best seller “Orangtuanya Manusia” dan “Sekolahnya Manusia”. Ada pula Prof Dr H Nasaruddin Umar, MA, yang dalam buku itu ditulis sebagai Rektor PTIQ Jakarta –sekarang Menteri Agama RI dalam kabinet Prabowo-Gibran.

Juga ada Ir Indra Hermawan, peserta training metode ACQ dari Jakarta Selatan, Lena Hanifah, SH, LLM, dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Ph.D Student di University of New South Wales, Australia, dan Prof Dr Lydia Freyani Hawadi, Psikolog, Guru Besar Universitas Indonesia.

Perlu diketahui metode ACQ (Aku Cinta Quran) Ini merupakan metode menghafal Al-Qur’an dengan gerakan isyarat. Sa’diah merupakan founder sekaligus pemegang paten dari metode ACQ ini. Pengasuh Pondok Pesantren Putri Darul Huffadh ini, aktif memberikan pelatihan dengan metode ini di berbagai daerah di Tanah Air, baik di pesantren, kampus, maupun sekolah.

Lantas, bagaimana ceritanya hingga saya bisa terhubung dengan perempuan kelahiran Bone, 2 Mei 1981 itu.

Semula, saya ge-er mengira mungkin Sa’adiah pembaca tulisan saya di koran. Maklum, nomor telepon saya dia dapat dari salah seorang wartawan di Harian Fajar.

Itu saya ketahui saat kami berkomunikasi pertama kali di tahun 2016. Pada tahun itu, dia baru kira-kira setahun kembali ke Tanah Air, bersama suaminya, H Zaenal Saleh, Lc, MA, setelah pulang dari Teheran, Iran.

Rupanya, sangka saya keliru. Dia belum pernah membaca tulisan saya. Dia hanya berkeinginan ada orang dari daerahnya, Sulawesi Selatan, yang turut memberikan endorsement dalam buku pertamanya.

Dan nama saya kemudian direkomendasikan. Sebab, isu anak yang biasa saya tulis di media massa, dianggap relevan dengan tema buku yang ditulisnya itu. Setelah itu, baru dia membaca tulisan saya hehehe.

Walau kalimat yang saya buat terlihat singkat, tapi saya diminta mengulang hingga dua kali sebelum dimuat dalam buku “Kenapa Allah Ngga Kelihatan, Ma?”

Buku itu diterbitkan tahun 2016 oleh Penerbit Noura Books, yang merupakan anggota grup PT Mizan Publika. Buku berupa percakapan Sa’diah dengan anaknya, Fayyez, itu isinya urgen bagi orangtua karena berisi pertanyaan kritis anak seputar tauhid, akidah, ibadah, etika bersikap, hingga bahasan tentang kehidupan dan kematian.

Apa yang saya ceritakan ini, baru terungkap begitu saya bertemu dengan Sa’diah Lanre Said di acara Temu Budaya Akhir Tahun 2024, di Gedung Mulo, Jalan Jenderal Sudirman Makassar, Sabtu, 28 Desember 2024. Kegiatan bertema “Budaya Religius, Budaya Maritim — Refleksi Budaya Sulsel 2024” ini dihelat oleh Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS).

Sa’diah merupakan salah seorang penampil pada sesi pertunjukan seni. Dia tampil setelah teaterikalisasi sanja Mangkasara “Inakke Pasombala” oleh Sanggar Seni Bija Tutidung dan tarian dengan koreografer Andi Abubakar Hamid. Setelah Sa’diah, tampil Komunitas Lagoa pimpinan Bahar Merdhu dengan La Coki.

Sa’diah membacakan cerpen religius karyanya, berjudul “Cenning Rarana Mariatang”. Begitu namanya dipanggil oleh Dr Rahma M, M.Sn yang malam itu jadi MC, Armin Mustamin Toputiri spontan berkomentar, “Nah, ini menarik karena tidak mudah membaca cerpen.”

Saya menyimak Sa’diah kala membaca cerpennya itu. Pada penggalan kalimat yang menggunakan bahasa Bugis, dia mendapat tepuk tangan penonton. Saya yakin petikan kalimatnya pasti punya pesan kuat, sehingga mendapat aplaus penonton.

Saya sendiri tidak memahami bahasa Bugis yang disampaikannya. Namun, saya menangkap ada isu gender dalam kisah “Cenning Rarana Mariatang” yang malam itu dibawakannya cukup menarik.

Selepas pertunjukan masih ada diskusi dengan tiga pembicara andal: Dr Halilintar Latief, Dr Nurlina Syahrir, keduanya akademisi UNM), dan Andi Mahrus, seorang kritikus sastra. Mereka mengupas pertunjukan yang baru selesai ditampilkan.

Prosesi terakhir dari rangkaian hajatan Temu Budaya ini adalah penutupan. Sebelum menutup kegiatan yang berlangsung sejak pagi hingga pukul 22 30 wita itu, Dr H Ajiep Padindang, SE, MM, yang merupakan Ketua Dewan Pembina LAPAKKSS, ikut mereview pertunjukan.

Mantan senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu banyak mengulas tentang Sa’diah, yang disebutnya sebagai anak dari Anregurutta Lanre Said atau KH Lanre Said, pendiri Pondok Pesantren Darul Huffadh Tuju-Tuju, di Kajuara, Kabupaten Bone.

“Sa’diah ini terbilang masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ternyata dia penulis dan sastrawan. Meski dia pengasuh pondok pesantren, tapi hobinya mendaki gunung,” terang Ajiep Padindang.

Seketika saya teringat buku “Kenapa Allah Ngga Kelihatan, Ma?” Lantas saya bergeser dari tempat saya semula. Perlahan saya mendekat ke depan. Begitu selesai penyerahan piagam penghargaan kepada para penampil dan pembicara, saya pun menyapa Sa’diah.

“Saya kira kita sudah lupa. Tadi pagi saya mau sapa ki, tapi saya ragu, jangan-,jangan kita lupa tentang buku saya,” kata Sa’diah di awal obrolan kami.

Saya bilang, nda mungkinlah dilupa. Karena bukunya punya cerita tersendiri. Saya katakan, bahkan dalam banyak kesempatan, bukunya itu saya jadikan contoh, bagaimana seorang ibu menuliskan kisah sehari-hari yang merupakan pengalamannya bersama anaknya.

Malam itu, Sa’diah ditemani anak keduanya, Fiyyaz Muhammad Said, dan seorang santrinya. Kami ngobrol layaknya sahabat lama. Kami banyak bertukar pengalaman seputar kepenulisan. Kepada saya disampaikan bahwa dia akan menulis buku dengan tema yang unik, berdasarkan pengalamannya. (*)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
3,912PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -

Latest Articles